A.
PENDEKATAN
DARI TEORI KONTRUKTIVISME
1.
Sejarah Kontruktivisme
Konstruktivisme lahir dari gagasan
Piaget dan Vigotsky dimana keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif hanya
terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui
suatu proses ketidakseimbangan dalam memahami informasi-informasi baru.
Empat kunci yang diturunkan dari
teori ini adalah pertama, penekanannya pada hakikat sosial dari pembelajaran
yaitu siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang
lebih mampu. Kedua, zona perkembangan terdekat atau zone of proximal
development yaitu bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila
konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. ketiga, pemagangan
kognitif atau cognitife apprenticeship yaitu proses dimana
seseorang tahap demi tahap berkesepakatan dalam belajar dengan seseorang apakah
seorang yang dewasa atau teman sebaya yang lebih tinggi. Dan yang keempat
adalah scaffolding atau mediated learning yaitu
siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks sulit, dan realistic dan
kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugasnya.
2.
Konsep Konstruktivisme
Pendekatan konstruktivisme mempunyai
beberapa konsep umum seperti:
b. Dalam konteks
pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
c. Pentingnya
membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling
mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
d. Unsur
terpenting dalam teori ini ialah
seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan
pemahamannya yang sudah ada.
e. Ketidakseimbangan
merupakan faktor motivasi pembelajaran
yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari
gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
f. Bahan
pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar
untuk menarik minat pelajar.
B.
Pengertian,
Tujuan dan Sasaran
1.
Pengertian
dari Teori Belajar Konstruktivisme
Teori belajar
konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia
yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan menemukan
keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang
lain.Sehingga teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar
menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan, atau teknologi dan hal lain yang
diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Hasil belajar bergantung
pada pengalaman dan perspektif yang dipakai dalam interpretasi pribadi.
Sebaliknya, fungsi pikiran menginterpretasi peristiwa, obyek, perspektif yang
dipakai, sehingga makna hasil belajar bersifat individualistik. Suatu kegagalan
dan kesuksesan dilihat sebagai beda interpretasi yang patut dihargai dan sukses
belajar sangat ditentukan oleh kebebasan siswa melakukan pengaturan dari dalam
diri siswa.
Untuk mendukung kualitas
pembelajaran maka sumber belajar membutuhkan data primer, bahan manipulatif
dengan penekanan pada proses penalaran dalam pengambilan kesimpulan.
Sistematika evaluasi lebih menekankan pada penyusunan makna secara aktif,
keterampilan intergratif dalam masalah nyata, menggali munculnya jawaban divergen
dan pemecahan ganda. Evaluasi dilihat sebagai suatu bagian kegiatan belajar
mengajar dengan penugasan untuk menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata
sekaligus sebagai evaluasi proses untuk memecahkan masalah
Teori Konstruktivisme
didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar
sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan
teori kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun
atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai
dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada
orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya.
Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses
asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk
suatu skema yang baru.
Teori konstruktivisme juga mempunyai
pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil.
Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan
cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar,
hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi
perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh
pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya
terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur
kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Dengan demikian, belajar menurut
teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses
mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil
”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari
”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui
proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan
makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam
setiap individu.
2.
Tujuan dari Teori Belajar
Konstruktivisme
Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
a. Adanya motivasi untuk siswa bahwa
belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
b. Mengembangkan kemampuan siswa untuk
mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
c. Membantu siswa untuk mengembangkan
pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
d. Mengembangkan kemampuan siswa untuk
menjadi pemikir yang mandiri.
e. Lebih menekankan pada proses belajar
bagaimana belajar itu.
3.
Sasaran
a)
Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Ada sejumlah ciri-ciri proses
pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:
a.
Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
b.
Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada
siswa
c.
Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang
ingin dicapai
d.
Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan
menekan pada hasil
e.
Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
f.
Mengharagai peranan pengalaman kritis dalam belajar
g.
Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada
siswa
h.
Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan
pemahaman siswa
i.
Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri
kognitif
j.
Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan
proses pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis
k.
Menekankan bagaimana siswa belajar
l.
Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau
diskusi dengan siswa lain dan guru
m.
Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
n.
Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
o.
Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
p.
Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
q.
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun
pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata
b)
Peranan Teori Konstruktivisme di Kelas
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme tersebut
di atas, berikut ini dipaparka tentang penerapan di kelas.
a. Mendorong
kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta
mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan
identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan
dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan
tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah
masalah (problem solver).
b. Guru
mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada
siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan
seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru
mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong
siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.
c. Mendorong
siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme
akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik
respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan
dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan
mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya
d. Siswa
terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam
kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau
menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk
megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang
lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan
atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk
mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas
e. Siswa
terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam
prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena
alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat,
terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata
f. Guru
memberikan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan
konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena
alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi
atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara
bersama-sama.
Selain itu yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini
dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan
sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar
menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru
dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan
dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi
harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar
menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik
membina sendiri pengtahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari dan
merupakan proses menyelesaikan konsep dan idea-idea baru dengan kerangka
berfikir yang telah ada dan dimilikinya.
Dalam mengkonstruksi pengetahuan
tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis
dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari
jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan
ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.
C.
PENGGUNAAN
SAAT PROSES PEMBELAJARAN
1.
Proses Belajar Menurut Teori
Konstruktivisme
Menurut cara pandang teori
konstruktivisme bahwa belajar adalah proses untuk membangun pengetahuan melalui
pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengalaman
jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas yang ada di dalam
masyarakat. Penekanan teori konstruktivisme bukan pada membangun kualitas
kognitif, tetapi lebih pada proses untuk menemukan teori yang dibangun dari
realitas lapangan.
Belajar bukanlah proses tekonologisasi
(robot) bagi siswa, melainkan proses untuk membangun penghayatan terhadap suatu
materi yang disampaikan sehingga proses pembelajaran tidak hanya meyampaikan
materi yang bersifat normatif (tekstual) tetapi juga harus juga menyampaikan
materi yang bersifat kontekstual.
Teori konstruktivisme membawa implikasi
dalam pembelajaran yang harus bersifat kolektif atau kelompok. Proses sosial
masing-masing siswa harus diwujudkan. Keberhasilan belajar sangat ditentukan
oleh peran sosial yang ada pada diri siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi
situasi saling berhubungan, terdapat tata hubungan, tata tingkah laku dan sikap
di antara sesama manusia. konsekuensinya, siswa harus memiliki keterampilan
untuk menyesuaikan diri (adaptasi) secara tepat.
Dalam kaitannya dengan ini, Bettencourt
(1989) mengemukakan bahwa ada tiga penekanan dalam teori belajar kontruktivisme
yaitu:
a. peran aktif
siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara makna
b. pentingnya
membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna
c. mengaitkan
antara gagasan dengan informasi baru yang diterima
Peran guru dalam pembelajaran menurut teori
kontruktivisme adalah lebih sebagai fasilitator atau moderator. Artinya guru
bukanlah satu-satunya sumber belajar yang harus selalu ditiru dan segala
ucapandan tindakannya selalu benar, sedang murid sosok manusia yang bodoh,
segala ucapan dan tindakannya tidak selalu dapat dipercaya atau salah. Proses
pembelajaran seperti ini, cendrung menempatkan siswa sebagai sosok manusia yang
pasif, statis dan tidak memiliki kepekaan dalam memahami persoalan.
Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan
pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Agar dapat
melaksanakan peran sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, Sanjaya
(2008: 23-24) berpendapat bahwa ada beberapa yang harus dipahami, khususnya
hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber
pembelajaran yaitu:
a. Guru perlu
memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masing-masing
media tersebut. Pemahaman akan fungsi media tersebut diperlukan, belum tentu
semua media cocok digunakan untuk mengajarkan semua semua bahan pelajaran.
Setiap media memiliki karakteristik tersendiri
b. Guru perlu
mempunyai keterampilan dalam merancang suatu media. Dengan perancangan media
yang dianggap cocok akan memudahkan proses pembelajaran, sehingga akan tercapai
secara optimal.
c. Guru dituntut
untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat memanfaatkan
berbagai sumber belajar.
d. Guru dituntut
agar mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa.
Kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap pesan
sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mereka.
Posisi siswa dalam pembelajaran menurut falsafah atau
teori konstruktivisme adalah siswa harus aktif, kreatif dan kritis. konsekuensi
utamanya guru sebelum memberikan materi pembelajaran harus mengetahui kemampuan
awal siswa, jangan siswa dalam belajar berawal dari pemhaman yang kosong.
Peran guru dan siswa dalam pembelajaran konstruktivtistik
harus diubah. Dalam hal ini, guru atau pendidik berperan sebagai seseorang yang
berperan memberdayakan seluruh potensi siswa agar siswa mampu melaksanakan
proses pembelajaran. Guru bertugas tidak mentransferkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, melainkan berusaha memberdayakan seluruh potensi dan sarana yang
dapat membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
Sementara itu, peran siswa menurut pandangan
konstruktivisme bahwa siswa dalam proses pembelajaran harus aktif melakukan
kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberikan makna tentang hal-hal
yang sedang dipelajari. Paradigma konstruktivisme memandang bahwa siswa sebagai
pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Siswa
dipahami pribadi yang memiliki kebebasan untuk membangun ide atau gagasan tanpa
harus diintervensi oleh siapapun, siswa diposisikan manusia dewasa yang sudah
memiliki modal awal pengetahuan.
2.
Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme
a)
Discovery Learning,
Dalam
model ini, siswa didorong untuk belajar sendiri, belajar aktif melalui konsep
konsep, prinsip-prinsip, dan guru sebagai motivatornya.
1. Guru mengidentifikasi kurikulum.
Selanjutnya memandu pertanyaan, menyuguhkan teka-teki, dan menguraikan berbagai
permasalahan.
2. Pertanyaan yang fokus harus dipilih
untuk memandu siswa ke arah pemahaman yang bermakna. Siswa lalu memformulasikan
jawaban sementara (hipotesis).
3. Mengumpulkan data dari berbagai
sumber yang relevan, dan menguji hipotesis.
4. Siswa membentuk konsep dan prinsip.
5. Guru memandu proses berfikir dan
diskusi siswa, untuk mengambil keputusan.
6. Merefleksikan pada masalah nyata dan
mengolah pemikiran guna menyelesaikan masalah.
Proses
ini mengajarkan siswa untuk memahami isi dan proses dalam waktu yang bersamaan.
Dengan kata lain, siswa belajar menyelesaikan masalah, mengevaluasi solusi, dan
berpikir logis.
b)
Pembelajaran Berbasis Masalah
Dalam
model ini, siswa dihadapkan pada masalah nyata yang bermakna untuk mereka.
Persoalan sesungguhnya dari pembelajaran berbasis masalah adalah menyangkut
masalah nyata, aksi siswa, dan kolaborasi diantara mereka untuk menyelesaikan
masalah.
1. Guru memotivasi diri siswa, dan mengarahkannya
kepada permasalahan.
2. Guru membantu siswa dengan memberi
petunjuk tentang literatur yang terkait masalah, dan mengorganisirnya untuk
belajar dengan membuat kelompok kerja.
3. Guru menyemangati siswa untuk
mencari lebih banyak literatur, melakukan percobaan, membuat penjelasan untuk
menemukan solusi. Setelah itu, secara mandiri, kelompok kerja siswa melakukan
penyelidikan.
4. Kelompok kerja siswa
mempresentasikan hasil temuannya, baik itu berupa laporan, video, model, dan
dibantu guru dalam mendiskusikannya.
5. Kelompok kerja siswa menganalisis,
dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah. Pada bagian ini pula, guru
membantu siswa dalam merefleksikannya.
Pada
model ini, guru dan siswa bersama-sama dalam proses, sesuai dengan porsinya.
Mereka bersama - sama untuk mengkaji, membaca, menulis, meneliti, berbicara,
guna menuju pada penyelesaian masalah selayaknya dalam kehidupan yang nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Nurani.
Yuliani 2013. Konsep Dasar Pendidikan
Usia Dini. Jakarta: PT Indeks.
Suciati.2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta :
Universitas Terbuka (PAU-PPAI-UT)
Harjanto.2000.
Perencanaan Pengajaran. Jakarta:PT. Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar