BAB I
PENDAHULUAN
Dinasti
umayah timur adalah sebuah dinasti yang didirikan oleh keturunan Umayah atas
rintisan Muawiyah (661-680 M), yang berpusat di Damaskus. Dinasti Umayah timur
merupakan fase ketiga dari kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang
satu abad (661-750 M).
Dengan berakhirnya kekuasaan
khalifah Ali ibnu Abi Thalib, maka lahirlah kekuasan bani Umayyah. Pada periode
Ali dan Khalifah sebelumnya, pola kepemimpinan masih mengikuti keteladanan
Nabi. Para khalifah dipilih melalui proses musyawarah. Ketika mereka menghadapi
kesulitan-kesulitan, maka mereka mengambil kebijakan langsung melalui
musyawarah dengan para pembesar yang lainnya,
Hal ini berbeda dengan masa
khulafaur rasyidin atau masa dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya, yang
dimulai pada masa dinasti bani Umayyah. Adapun bentuk pemerintahannya adalah
berbentuk kerajaan, kekuasaan bersifat feudal (penguasaan tanah/daerah/wilayah,
atau turun menurun). Untuk mempertahankan kekuasaan, khilafah berani bersikap
otoriter, adanya unsure kekerasan, diplomasi yang diiringi dengan tipu daya,
serta hilangnya musyawarah dalam pemilihan khilafah.
Ciri
yang menonjol ditampilkan oleh dinasti Umayah ini adalah perpindahan ibukota
dari Madinah ke Damaskus. Kepemimpinan dikuasai militer Arab dari lapisan
bangsawan,
dan ekspansi kekuasaan Islam yang lebih meluas yaitu pada masa kekuasaan Islam
terbentang sejak dari Spanyol, Afrika Utara, Timur Tengah, sampai ke perbatasan
Tiongkok. Dengan demikian, selama periode Umayah berlangsung langkah-langkah
baru untuk merekonstruksi otoritas dan sekaligus kekuasaan khilafah, dan
menerapkan faham golongan bersama dengan elite pemerintah. Kekuasaan Arab
menjadi sebuah sentralisasi monarkis.
Umayyah berkuasa kurang
lebih selama 90 tahun. Reformasi cukup banyak terjadi, terkait pada bidang
pengembangan dan kemajuan pendidikan Islam. Perkembangan ilmu tidak hanya dalam
bidang agama semata melainkan juga dalam aspek teknologinya. Sementara sistem
pendidikan masih sama ketika Rasul dan khulafaur rasyidin, yaitu kuttab yang
pelaksanaannya berpusat di masjid.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMERINTAHAN
PADA MASA UMAIYAH DI TIMUR
A.
Proses berdirinya dinasti dan
mengenal para khalifah-khalifahnya
Bani Umayyah diambil dari nama Umayyah, kakeknya Abu
Sufyan bin Harb, atau moyangnya Muawiyah bin Abi Sufyan. Yang bernama Umayah
ibnu Abdi Syams ibn Abdi Manaf, yaitu salah seorang terkemuka dalam persukuan
pada zaman Jahiliyah Umayyah hidup pada masa sebelum Islam, ia termasuk bangsa
Quraisy. Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dengan
pusat pemerintahannya di Damaskus dan berlangsung selama 90 tahun (41 – 132 H /
661 – 750 M).[1]
Muawiyah bin Abi Sufyan sudah terkenal siasat dan tipu
muslihatnya yang licik, dia adalah kepala angkatan perang yang mula-mula
mengatur angkatan laut, dan ia pernah dijadikan sebagai amir “Al-Bahar”. Ia
mempunyai sifat panjang akal, cerdik cendekia lagi bijaksana, luas ilmu dan
siasatnya terutama dalam urusan dunia, ia juga pandai mengatur pekerjaan.
Daulah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, telah
diperintah oleh 14 orang khalifah. Namun diantara khalifah-khalifah tersebut, yang
paling menonjol adalah : Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik bin
Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik.[2]
Perintisan dinasti umayah dilakukan oleh muawiyah
dengan cara menolak membai’at ali, berperang melawan ali, dan melakukan
perdamaian (tahkim ) dengan pihak ali yang secara politik sangat menguntungkan
mu’awiyah. Keberuntungan mu’awiyah berikutnya adalah keberhasilan pihak khawarij
membunuh khalifah ali jabatan khalifah setelah Ali wafat, di pegang oleh
putranya selama beberapa bulan. Akan tetapi, karena tidak di dukung oleh
pasukan yang kuat, sedangkan pihak mu’awiyah semakin kuat. Akhirnya mu’awiyah
melakukan perjanjian dengan Hasan bin ali. Isi perjanjian itu adalah bahwa penggantian pemimpin akan di
serahkan kepada umat islam setelah masa mu’awiyah berakhir. Perjanjian ini
dibuat pada tahun 661 M (41 H ).
Pada masa itu, Umat islam telah bersentuhan dengan
peradaban persia dan bizantium. Peristiwa penyerahan kekuasaan dari Hasan bin
Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan itu terkenal dengan sebutan amul jama’ah
(tahun penyatuan). Peristiwa itu terjadi pada tahun 41 H atau 661 M. Sejak saat
itu, secara resmi pemerintahan Islam disandang oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia
kemudian memindahkan pusat kekuasaan dari Madinah ke Damaskus (Suriah).[3]
Jika pada zaman khalifah yang empat , khalifah
(pengganti) yang di maksudkan adalah khalifah Rasul S.A.W. (khalifah al rasul)
adalah pemimpin masyarakat, sedangkan pada zaman bani umayyah, yang di
maksudkan adalah khalifah Allah yaitu pemimpin atau penguasa yang di angkat
oleh Allah.
Bani Umayyah memegang kekuasaan Islam selama sembilan
puluh tahun dengan pusat pemerintahan di Damaskus. Selama kurun waktu tersebut
pemerintahan di pegang oleh empat belas orang khalifah. Khalifah-khalifah itu
adalah sebagai berikut:[4]
1)
Muawiyah bin Abu
Sufyan (Muawiyah I) – (661M-680M)
2)
Yazid bin Muawiyah
(Yazid I) – (680M-683M)
3)
Muawiyah bin Yazid
(Muawiyah II) – (683M-684M)
4)
Marwan bin Hakam
(Marwan I) – (684M-685M)
5)
Abd Malik bin Marwan
– (685M-705M)
6)
Walid bin Abd Malik
(Walid I) – (705M-715M)
7)
Sulaiman bin Abd
Malik – (715M-717M)
8)
Umar bin Abdul Aziz
(Umar II) – (717M-720M)
9)
Yazid bin Abd Malik
(Yazid II) – (720M-724M)
10) Hisyam bin
Abd Malik – (724M-743M)
11) Walid bin
Yazid (Walid III) – (743M-744M)
13) Ibrahim
bin Walid – (744M)
14) Marwan bin
Muhammad (Marwan II) – (744M-750M)
Khalifah-khalifah yang terkenal diantara ke 14
khalifah tersebut adalah:
1. Muawiyah bin Abu Sufyan
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan
Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tunisia dapat
ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai
ke sungai Oxus dan Afganistan, sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan
serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang
dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Dia
mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh,
Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India
dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.[5]
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini,
namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah
tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta,
yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah
diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid
sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di
kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan
berkelanjutan. Pada masa pemerintahannya islam menyebar kearah barat dan timur.[6]
2. Abdul Malik bin Marwan
Pada masa pemerintaha Abdul Malik bin Marwan pemberontakan-pemberontakan
kaum Syi’ah masih berlanjut. Yang termasuk di antaranya adalah pemberontakan
Mukhtar di Kufah pada tahun 685 – 687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari
kalangan kaum Mawali, yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia
dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas
dua. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh
khalifah Abd al-Malik.
3. Al-Walid bin Abdul Malik
Masa pemerintahan Walid adalah masa ketenteraman,
kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu
ekspedisi militer dari Afrika utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa,
yaitu pada tahun 711 M.
4. Umar bin Abdul Aziz
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik
di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini
betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara,
Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis
di Asia Tengah.
Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia
berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberi
kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan
dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali disejajarkan dengan
muslim Arab.
5. Hisyam bin Abdul Malik
Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan
Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman
Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi
pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang
didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam
perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah
dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd
al-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena
gerakan oposisi terlalu kuat, khalifah tidak berdaya mematahkannya. Sepeninggal
Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya
lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi.[7]
B.
Proses pergantian
kepemimpinan kekhalifan dalam kebijakan politik dan sosial
1)
Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah
yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis
berubah menjadi monarchi absolute(kerajaan turun menurun). Sukses kepemimpinan
secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi
di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun
dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam
pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.[8]
Upaya
penegakan dinasti dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yaitu:
•
Membuat struktur kekuasan berbentuk warisan di dalam lingkungan satu
keluarga.
•
Ditetapkannya warna khusus sebagai lambang
kekuasaan Daulat Umayyah, yaitu Bendera Merah. Pada setiap upacara kenegaraan
maupun upacara-upacara ketenteraan maka Bendera Merah dikibarkan..
•
Memperluas wilayah kekuasaan ke berbagai negara.
•
Memperbaiki seluruh system pemerintahan dan
menata administrasi yang baik dengan membentuk beberapa departemen dan
organisasi, antara lain organisasi keuangan.
•
Memajukan seni-seni budaya, seperti pengembangan
seni bahasa, seni suara, seni rupa, dan seni bangunan (arsitektur).
2)
Kebijakan Sosial, Politik, dan Ekonomi, dan
Administrasi Bani Umayyah
a.
Kebijakan Sosial
Sistem kekhalifahan Umayyah dalam bidang sosial yaitu mengutamakan
kesejahteraan rakyat. Daulah ini memberikan hak dan perlindungan kepada warga
negara yang berada di bawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari kesewenangan. Oleh karena itu Daulah
ini membentuk Lembaga Kehakiman.
Adapun kebijakan sosial yang dilakukan oleh Daulah ini diantaranya yaitu:
·
Penggunaan kekayaan negeri untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin,
dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta, sakit kusta.
·
Penyempurnaan pembangunan gedung-gedung, pabrik, dan jalan-jalan yang
dilengkapi dengan sumur untuk para kafilah yang berlalu lalang di jalur Spanyol
digalakkan.
·
Pembukaan jalur kontak komunikasi antara bangsa-bangsa Muslim (Arab) dengan
negeri-negeri taklukan.[9]
Semua itu dilakukan dengan tujuan untuk menjamin hak masyarakat agar
mendapat perlindungan hukum. Dengan demikian, mereka akan merasa aman dan
tentram tanpa mendapat gangguan dari seseorang atau suatu kelompok orang atau
kelompok politik.Dan pada akhirnya, rakyat akan menikmati kemajuan yang dicapai
oleh Daulah Umayyah dan kehidupan mereka akan sejahtera.
b.
Kebijakan politik
Dalam awal perkembangannya, dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa
politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke
Damaskus. Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi dinasti
yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari
itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapat serangan-serangan
dari rival politiknya.
Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk
pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat, dari
kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan turun
menurun (monarchi heridetis).Penggantian khalifah secara turun temurun dimulai
dari sikap Muawiyyah yang mengangkat anaknya, Yazid, sebagai putera mahkota.
Sikap ini dipengaruhi oleh keadaan Syiria yang menjadi wilayah kekuasaan selama
dia menjadi gubernur dan memang bermaksud mencontoh monarchi heridetis di
Persia dan kekaisaran Bizantium.
Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum,
dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat
secara garis besar terdiri muslim dan non muslim, dan dalam memperlakukan orang
Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang
menjurus kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok,
dan kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya
lebih personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah
syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang
non Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa
Arab. Dengan demikian masyarakt muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari
dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.
Dengan tatanan masyarakat yang homogen tersebut, menimbulkan ambisi
penguasa dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,
yaitu membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum muslimin.
Usaha-usaha ke arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran
masyarakat Arab bagi anak-anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan,
kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk daerah Islam dan bahkan adat istiadat
serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab.
Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan
wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi’ berhasil menguasai
Tunis yang kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada
tahun 760 M. Di sebelah timur, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke
Lahore di Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat
menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani.Pada tahun 48 H, Muawiyyah
merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal
setelah kehilangan pasukan dan kapal perang mereka.
Sistem politik pada masa dinasti ini menggunakan
system politik kekuatan, artinya segala pergolakan politik yang timbul diatasi
dengan kekuatan militer, sehingga lawan politik yang terus berusaha untuk
mengacaukan kekuatan politik dinasti ini selalu digagalkan dengan kekuatan
politik militer dan politik diplomasi.[10]
a.
Politik dalam Negeri
1. Pemindahan
pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini berdasarkan pada
pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dariKufah, pusat kaum
Syi’ah (pendukung Ali), dan juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim
dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antar
dua bani tersebut dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang
terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada di bawah genggaman
Muawiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi Gubernur di distrik ini
sejak zaman Khalifah Umar ibn Khattab.
2.
Pembentukan lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan dari Khalifah ar-
rasyidin, untuk memenuhi tuntutan perkembangan administrasi dan wilayah
kenegaraan yang semakin komplek.
b.
Politik Luar Negeri
Politik
luar negeri Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu melakukan perluasan
daerah kekuasaan ke negara–negara yang belum tunduk pada kerajaan Bani Umayyah.
Pada
zaman Khalifah ar-Rasyidin wilayah Islam sudah demikian luas, tetapi perluasan
tersebut belum mencapai tapal batas yang tetap, sebab di sana-sini masih selalu
terjadi pertikaian dan kontak-kontak pertempuran di daerah perbatasan.
Daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Islam masih tetap menjadi sasaran penyerbuan
pihak-pihakdi luar Islam, dari belakang garis perebutan tersebut. Bahkan musuh
diluar wilayah Islam telah berhasil merampas beberapa wilayah kekuatan Islam
ketika terjadi perpecahan-perpecahan dan permberontakan-pemberontakan dalam
negeri kaum muslimin
c.
Kebijakan ekonomi
Adapun sistem perekonomian yang digalakkan
pada dinasti ini dilakukan melalui kegiatan kemajuan perdagangan, perbaikan
system ukuran pertimbangan, takaran, dan keuangan yang dicetak secara teratur.
Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami
kemajuan yang luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal
itu memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri
taklukan. Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam.
Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan
menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya
mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak. Tetapi
bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Bani
umayyah, tetapi ada juga usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini
terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin
Yusuf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris,
memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan
keuangan.Jadi sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi
ekonomi negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari
negara-negara yang telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam
Kebijakan Dinasti di bidang
ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk lalu lintas darat dan laut,
lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar
perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas
laut ke arah negeri-negeri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu,
kasturi, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan.Keadaan demikian membuat
kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan pelabuhan
dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah lindungan armada Islam
yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan
perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah
dirintis industri kerajinan tangan berupa tiraz (semacam bordiran) yakni cap
resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan, format
tiraz bertuliskan lafaz“La Ilaaha Illa Allah“.Guna memperlancar produktifitas
pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan
setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas
dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.
d.
Kebijakan administrasi
Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, selain sukses disamping ekspansi teritorial, BaniUmaiyah juga telah
sukses dalam berbagai bidang. Diantaranya adalah dalam bidang administrasi
negara pemerintahan yang meliputi :
·
Pemisahan kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama dan kekuasaan
politik
·
Pembagian wilayah. Wilayah kekuasaan terbagi menjadi beberapa propinsi,
yaitu : Syiria dan Palestina, Kuffah dan Irak, Basrah dan Persia, Sijistan dan
Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan Yamamam, Arena, Hijaz, Karman dan India,
Egypt (Mesir), Ifriqiyah (Afrika Utara), Yaman dan Arab Selatan, serta
Andalusia.
·
Bidang Administrasi Pemerintahan. Organisasi tata usaha negara terpecah
menjadi bentuk dewan. Departemen Pajak dinamakan dengan Dewan Al-Kharaj,
Departemen Pos dinamakan dengan Dewan Rasil. Departemen yang menangani
kepentingan umum dinamakan dengan Dewan Musghilat, adapun departemen
dokumen negara dinamakan dengan
Departemen Khatim.
·
Organisasi keuangan masih terpusat pada baitul maal yang asetnya diperoleh
dari pajak tanah, perorangan bagi non-muslim.
·
Organisasi ketentaraan. Umumnya orang arab atau keturunan arab yang boleh
menjadi tentara.
·
Organisasi Kehakiman
·
Bidang Sosial dan Budaya . Bidang Seni dan Sastra. Pada masa khalifah Walid ibn Abdul Malik terjadi keseragaman
bahasa, semua bahasa daerah terutama dalam bidang administrasi diseragamkan
dengan bahasa arab.
·
Bidang seni rupa. Yang berkembang adalah seni ukir, dan pahat, itu terlihat
pada kaligrafi motifnya.
·
Bidang Arsitektur. Terlihat pada kubah Sakhra di Baitul Maqdis,yaitu kubah
batu yang didirikan pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan pada tahun 691 M.
·
Bidang Pendidikan. Pemerintah memberikan dorongan terhadap kemajuan
pendidikan dengan mendirikan berbagai sarana dan prasarana. Hal tersebut agar
para ilmuan, ‘ulama, dan seniman mau melakukan pengembangan dalam ilmu yang
didalaminya, serta agar dapat melakukan kaderisasi terhadap generasi
selanjutnya.Pada dinasti ini juga telah dilakukan pembukuan Hadis, tepatnya
pada pemerintahan Umar ibn Abd Al-Aziz ( 99 – 10 H). Selain itu Dinasti Umaiyah
juga memberikan perhatian pada perkembangan ilmu-ilmu yang lain, seperti ilmu
agama yang mencakup Al-Qur’an, hadis, dan ilmu fiqh.
C.
Puncak Kejayaan pada masa dinasti umayyah Timur
Dimasa Muawiyyah, terdapat peristiwa
paling mencolok yakni penyerangan kota konstan tinopel melalui suatu ekspedisi
yang dipusatksn di kota pelabuhan Dardanela, setelah terlebih dahulu menduduki
pulau-pulau di Laut Tengah seperti Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan sebuah
pulau yang bernama Award, tidak jauh dari Ibu Kota Romawi Timur. Dibelahan
Timur, Muawiyyah berhasil menaklukan Khurrasan sampai ke sungai Oxus dan
Afganistan. Ekspansi ke timur yang dirintis oleh Muawiyyah, lalu disempurnakan
oleh Khalifah Abdul Malik. Dibawah komando gubenur Irak Hajjaj ibn Yusuf,
tentara kaum muslimin menyebrangi sungai Ammu Darya dan menundukkan Balkh,
Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkhand. Dimasa kekuasaan al-Walid I
dikenal dengan “masa kemenangan yang luas”. Dimasa ini, pengepungan atas kota
konstantinopel dihidupkan kembali guna menaklukan ibu kota Romawi,meski belum
berhasil tetapi memberi hasil yang cukup memuaskan yakni dengan menggeser tapal
batas pertahanan Islam lebih maju kedepan, dengan menguasai basis-basis militer.
Kerajaan Romawi di Mar’asy dan
Amuriyah. Kemudian dilanjutkan dengan keberhasilan di front Afrika. Disamping
itu, kejayaan Bani Umayyah juga tercermin dari pembangunan di berbagai bidang
seperti bidang politik ataupun sosial kebudayaan. Didalam bidang politik Bani
Umayyah menyusun tatanan pemerintahan yang sama sekali baru, yakni memenuhi
tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin
kompleks.
Dalam jangka 90 tahun, banyak
bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam,
yang meliputi wilayah Spanyol, seluruh wilayah Afrika utara, Jazirah Arab,
suriah, Palestina, setengah bagian dari daerah Anatolia, Irak, Persia,
Afganistan, India, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan,
Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk sovyet Rusia.
Faktor
kejayaan pada masa umayyah timur
·
Masa
disintegrasi yang dapat dicegah pada masa pemerintahan Abdul Malik.
·
Sistem
Administrasi yang disempurnakan pada masa Abdul Malik.
·
Bani Umayah
berhasil memperluas kekuasaan islam kepenjuru dunia.
·
Islam
memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat luas.
·
Telah
berkembang ilmu pengetahuan secara tersendiri dengan masing-masing tokoh
spesialisnya. Antara lain, dalam Ilmu Qiro’at (7
qiro’at) yang terkenal yaitu Ibnu Katsir (120H), Ashim (127H), dan Ibnu Amr
(118H).5 Ilmu Tafsir tokohnya ialah Ibnu Abbas (68H) dan muridnya Mujahid, Ilmu
Hadits oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri, tokohnya ialah Hasan Al-Basri (110H), Sa’id
bin Musayyad, Rabi’ah Ar-Ra’iy guru dari Imam Malik, Ibnu Abi Malikah, Sya’bi
Abu Amir bin Syurahbil. Kemudian Ilmu Kimia dan Kedokteran, Ilmu Sejarah, Ilmu
Nahwu, dan sebagainya.[11]
D.
Proses tentang
kehancuran Dinasti dan dampak-dampak dari kehancurannya
Dinasti yang didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan
ini, dari beberapa khalifah yang memegang kekuasaan, hanya beberapa orang saja
yang dianggap berhasil dalam menjalankan roda pemerintahannya antara lain :
Muawiyyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, al Walid bin Abdul Malik,
Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik, selain mereka itu merupakan
khalifah yang lemah. Dinasti ini mencapai puncaknya pada masa al Walid I bin
Abdul Malik dan kemudian akhirnya menurun dan kekuasaan mereka direbut oleh
Bani Abbasiyah pada tahun 750 M.
Dari berbagai kesuksesan dan kebesaran yang telah
diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak mampu menahan kehancurannya, akibat
kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari fihak luar. Adapun hal-hal yang membawa
kemunduran yang akhirnya berujung pada kejatuhan Bani Umayyah dapat
diidentifikasikan antar lain sebagai berikut:
1. Pertentangan
keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan
Himyariyah yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai
puncaknya, karena para khalifah cederung kepada satu fihak dan menafikan yang
lainnya.
2. Ketidak puasan
sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari
kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu. stastus
yang menggambarakan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orangArab
yang mendapat fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama Arab
mengalami beratnya peperangan dan bahkan atas rata-rata orang Arab, tetapi
harapan mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara tidak
dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini
jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang
Arab.
3. Latar belakang
terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari
konflik-konflik politik. Kaum syi`ah dan khawarij terus berkembang menjadi
gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah
pada masa akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk
merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani Umayyah dalam memimpin umat.
Diantara faktor penyebab keruntuhan Dinasti Umayyah
ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan adalah :
1.
Pengangkatan
Dua Putera Mahkota
Perubahan sistem kekuasaan, dari sistem demokrasi
kepada monarchi yang dirintis Muawiyyah bin Abu Sofyan, berakibat pada
tumbuhnya bibit permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga
dinasti dan ditambah dengan langkah pengangkatan dua putera mahkota yang diberi
mandat agar putera mahkota yang kedua sebagai pelanjut sesudah yang pertama,
hal itu dilakukan khalifah Marwan bin al Hakim dengan mengangkat Abdul Malik
bin Marwan dan Abdul Aziz, berikutnya adalah Abdul Malik mengikuti jejak
mendiang ayahnya dengan mengangkat puteranya, yaitu al Walid dan Sulaiman. Langkah ini tidak hanya
menjadi permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga tetapi juga
merembet masuk di lingkungan para panglima dan pejabat.
2.
Munculnya
Fanatisme Suku
Setelah Yazid bin Muawiyyah meninggal, fanatisme suku
menyebar di tengah-tengah kabilah Arab namun belum sampai membahayakan kekuatan
Bani Umayyah dari rongrongan kekuatan lain yang menginginkan kehancurannya
sebagai pemegang supremasi politik umat Islam.
Kondisi tersebut masih dapat dikendalikan terlebih
dengan tampilnya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah , ia seorang yang saleh
dan adil. Dalam masa pemerintahannya diisi dengan memperbaiki kerusakan yang
dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelumnya, sehingga legalitas
kepemimpinannya diakui dan diterima oleh semua pihak yang tidak mengakui
pemerintahan Bani Umayyah.Ia terbebas dari fanatisme suku, karena ia tidak
mengangkat seorang menjadi gubernur melainkan berdasarkan kecakapan dan
keadilan yang dimiliki oleh yang bersangkutan.[12]
Namun ketika Umar bin Abdul Aziz wafat, dan
kekhalifahan dipegang Yazid bin Abdul Malik, saat itu fitnah dan perselisihan
diantara bangsa Arab utara (Arab Mudhar) /suku Qais dengan Arab selatan (Arab
Yaman) /bani Kalb memanas, yang kemudian terjadi perang Murj Rahith,yang
mengkibatkan terbunuhnya al Mulahhab bin Abu Shufrah dari Arab Yaman, ia
seorang yang telah mengabdi seluruh hidup dan potensinya pada Bani Umayyah,
yaitu pembelaannya dalam perang al Azariqah menghadapi kaum khawarij, berjuang
memerangi penduduk Khurasan dan al Khazar serta orang-orang Turki. Sepeninggal al
Mulahhab, tampillah puteranya yang menjadi perhatian dan tumpuhan pihak Arab
Yamani untuk merongrong kedaulatan Dinasti Umayyah Timur. Namun demikian Bani
Umayyah sekali waktu berpihak kepada Arab Qais dan dilain waktu kepada Arab
Yaman.
Fanatisme suku dapat dilihat ketika Yazid bin Abdul
Malik mengangkat saudaranya yaitu Maslamah sebagai gubernur wilayah timur
setelah mereka berjasa menumbangkan pemberontakan putera al Mulahhab, dan juga
mengangkat Umar bin Hubairah yang berasal dari suku Qais.
Ketika Yazid wafat dan saudaranya yaitu Hisyam naik
tahta maka khalifah baru menilai bahwa posisi orang-orang Qais dalam
pemerintahan sudah terlalu kuat, dan hal ini, menurut Hisyam adalah
membahayakan kelangsungan pemerintahan Bani Umayyah, kemudian ia mengambil tindakan
dengan cara mengenyahkan orang-orang Qais dari kekuasaan dan balik berpihak
kepada unsur Yamani, ini dimaksudkan agar kedua unsur tersebut berimbang.Untuk
itu ia mengangkat Khalid bin Abdullah al Qasari sebagai gubernur Irak, dan juga
mengangkat saudara Khalid yaitu Asad sebagai gubernur Khurasan. Dengan demikian
kekuatan unsur Yamani kembali berperan dan kekuatan unsur Qaisi melemah,
kemudian orang-orang dari unsur Yamani berkesempatan menumpahkan balas dendam
mereka kepada orang-orang dari unsur Qaisi.
Demikianlah fanatisme suku yang telah mencabik-cabik
Dinasti Umayyah, sehingga negara menjadi ajang bagi tumbuhnya beragam fitnah
dan kerusuhan dan kemudian keruntuhan dinasti ini terjadi.
3.
Terlena
Dalam Kemewahan
Pola hidup sebagian khalifah Dinasti Umayyah yang
sangat mewah dan senang berfoya-foya sebagai warisan pola hidup para penguasa
Bizantium adalah faktor lain yang telah menanam andil besar bagi keruntuhan
dinasti ini. Yazid bin Muawiyyah adalah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah
sangat terkenal sebagai pengagum berat wanita, memelihara para penyanyi wanita,
memelihara burung buas, singa padang pasir dan seorang pecandu minuman keras.
Prilaku Yazid bin Abdul Malik juga tidak lebih baik
dari Yazid bin Muawiyyah, ia adalah pemuja wanita dan penggemar pesta pora.
Begitu pula dengan puteranya yaitu al Walid, ia seorang khalifah yang sangat
senang dengan kehidupan serba mewah dan terlena dengan romantika asmara.[13]
4.
Fanatik
Arab
Dinasti Umayyah adalah murni daulat Arab, sehingga ia
sangat fanatik kepada bangsa Arab dan kearabannya. Mereka memandang orang non
Arab ( mawali) dengan pandangan sebelah mata, sehingga menimbulkan fitnah
diantara sesama kum Muslimin, disamping itu pula telah membangkitkan
nasionalisme di dalam Islam.Bibit daripada geraka tersebut adalah anggapan
bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang paling utama dan mulia dan bahasa Arab
adalah bahasa yang paling tingga dibanding dengan yang lain.
Tindakan diskriminatif tersebut telah membangkitkan
kebencian kaum mawali kepada Bani Umayyah, akhirnya sebagai kaum tertindas
mereka selalu mencari waktu yang tepat untuk melampiaskan kebenciannya. Mereka
menggabungkan diri dengan al Mukhtar dan kaum khawarij untuk bersekutu dan
ditambah dengan propagandis kaum abassi untuk memberontak dan menggulingkan
Dinasti Umayyah.[14]
Sekutu tersebut melakukan gerakan oposisi terhadap
Dinasti Umayyah dengan pimpinan Muhammad bin Ali dan kemudian dilanjutkan kedua
puteranya yaitu ibrahim dan Abu Abbas yang didukung oleh masyarakat pendukung
Ali di Khurasan. Di bawah pimpinan panglimanya yang tangkas, yaitu Abu Muslim
al Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan
Dinasti Umayyah dan bahkan dalam pertempuran di Zab Hulu sebelah timur Mosul,
Marwan II, khalifah terakhir Dinasti Umayah dapat dikalahkan, Marwan II di
bunuh di Mesir pada bulan Agustus 750 M dan berakhirlah kekuasaan Dinasti
Umayyah di Damaskus.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Sejarah Ummat Islam .
Jakarta: Bulan Bintang, 1951
Murodi, dkk. Sejarah Kebudayaan
Islam. Semarang : Toha Putra, 2003
Supriadi, Dedi .Sejarah Peradaban
Islam. Pustaka Setia: Bandung, 2008
Syukur , Fatah . Sejarah Peradaban
Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam
Dirasah Islamiyah II. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010
Zubaidah , Siti, Sejarah Peradaban Islam Wal Ashri
Publishing: Medan, 2012
[2] Dr.H.Fatah Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2009) hlm 72
[4] Dr.Siti Zubaidah ,M.Ag. Sejarah Peradaban Islam, (Wal Ashri
Publishing,Medan, 2012), hlm 137
[5] Dr.
Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II. (Jakarata:
PT raja grafindo persada,
2010). Hlm. 43
[6] Dr.H.Fatah Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2009) hlm 73
[7] Dr.
Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II. (Jakarata:
PT raja grafindo persada,
2010). Hlm. 47-48
[11] Dedi supriadi, M.Ag Sejarah Peradaban Islam, (Pustaka Setia, Bandung, 2008), hlm 83
[12] Dedi supriadi, M.Ag Sejarah Peradaban Islam, (Pustaka Setia,
Bandung, 2008), hlm 83