Rabu, 25 Desember 2013

MAKALAH SPI , PEMERINTAHAN PADA MASA UMAYYAH DITIMUR


BAB I
PENDAHULUAN
Dinasti umayah timur adalah sebuah dinasti yang didirikan oleh keturunan Umayah atas rintisan Muawiyah (661-680 M), yang berpusat di Damaskus. Dinasti Umayah timur merupakan fase ketiga dari kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661-750 M).
Dengan berakhirnya kekuasaan khalifah Ali ibnu Abi Thalib, maka lahirlah kekuasan bani Umayyah. Pada periode Ali dan Khalifah sebelumnya, pola kepemimpinan masih mengikuti keteladanan Nabi. Para khalifah dipilih melalui proses musyawarah. Ketika mereka menghadapi kesulitan-kesulitan, maka mereka mengambil kebijakan langsung melalui musyawarah dengan para pembesar yang lainnya,
Hal ini berbeda dengan masa khulafaur rasyidin atau masa dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya, yang dimulai pada masa dinasti bani Umayyah. Adapun bentuk pemerintahannya adalah berbentuk kerajaan, kekuasaan bersifat feudal (penguasaan tanah/daerah/wilayah, atau turun menurun). Untuk mempertahankan kekuasaan, khilafah berani bersikap otoriter, adanya unsure kekerasan, diplomasi yang diiringi dengan tipu daya, serta hilangnya musyawarah dalam pemilihan khilafah.
Ciri yang menonjol ditampilkan oleh dinasti Umayah ini adalah perpindahan ibukota dari Madinah ke Damaskus. Kepemimpinan dikuasai militer Arab dari lapisan bangsawan, dan ekspansi kekuasaan Islam yang lebih meluas yaitu pada masa kekuasaan Islam terbentang sejak dari Spanyol, Afrika Utara, Timur Tengah, sampai ke perbatasan Tiongkok. Dengan demikian, selama periode Umayah berlangsung langkah-langkah baru untuk merekonstruksi otoritas dan sekaligus kekuasaan khilafah, dan menerapkan faham golongan bersama dengan elite pemerintah. Kekuasaan Arab menjadi sebuah sentralisasi monarkis.
Umayyah berkuasa kurang lebih selama 90 tahun. Reformasi cukup banyak terjadi, terkait pada bidang pengembangan dan kemajuan pendidikan Islam. Perkembangan ilmu tidak hanya dalam bidang agama semata melainkan juga dalam aspek teknologinya. Sementara sistem pendidikan masih sama ketika Rasul dan khulafaur rasyidin, yaitu kuttab yang pelaksanaannya berpusat di masjid.

BAB II
PEMBAHASAN
PEMERINTAHAN PADA MASA UMAIYAH DI TIMUR

A.   Proses berdirinya dinasti dan mengenal para khalifah-khalifahnya
Bani Umayyah diambil dari nama Umayyah, kakeknya Abu Sufyan bin Harb, atau moyangnya Muawiyah bin Abi Sufyan. Yang bernama Umayah ibnu Abdi Syams ibn Abdi Manaf, yaitu salah seorang terkemuka dalam persukuan pada zaman Jahiliyah Umayyah hidup pada masa sebelum Islam, ia termasuk bangsa Quraisy. Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dengan pusat pemerintahannya di Damaskus dan berlangsung selama 90 tahun (41 – 132 H / 661 – 750 M).[1]
Muawiyah bin Abi Sufyan sudah terkenal siasat dan tipu muslihatnya yang licik, dia adalah kepala angkatan perang yang mula-mula mengatur angkatan laut, dan ia pernah dijadikan sebagai amir “Al-Bahar”. Ia mempunyai sifat panjang akal, cerdik cendekia lagi bijaksana, luas ilmu dan siasatnya terutama dalam urusan dunia, ia juga pandai mengatur pekerjaan.
Daulah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, telah diperintah oleh 14 orang khalifah. Namun diantara khalifah-khalifah tersebut, yang paling menonjol adalah : Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik.[2]
Perintisan dinasti umayah dilakukan oleh muawiyah dengan cara menolak membai’at ali, berperang melawan ali, dan melakukan perdamaian (tahkim ) dengan pihak ali yang secara politik sangat menguntungkan mu’awiyah. Keberuntungan mu’awiyah berikutnya adalah keberhasilan pihak khawarij membunuh khalifah ali jabatan khalifah setelah Ali wafat, di pegang oleh putranya selama beberapa bulan. Akan tetapi, karena tidak di dukung oleh pasukan yang kuat, sedangkan pihak mu’awiyah semakin kuat. Akhirnya mu’awiyah melakukan perjanjian dengan Hasan bin ali. Isi perjanjian itu  adalah bahwa penggantian pemimpin akan di serahkan kepada umat islam setelah masa mu’awiyah berakhir. Perjanjian ini dibuat pada tahun 661 M (41 H ).
Pada masa itu, Umat islam telah bersentuhan dengan peradaban persia dan bizantium. Peristiwa penyerahan kekuasaan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan itu terkenal dengan sebutan amul jama’ah (tahun penyatuan). Peristiwa itu terjadi pada tahun 41 H atau 661 M. Sejak saat itu, secara resmi pemerintahan Islam disandang oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia kemudian memindahkan pusat kekuasaan dari Madinah ke Damaskus (Suriah).[3]
Jika pada zaman khalifah yang empat , khalifah (pengganti) yang di maksudkan adalah khalifah Rasul S.A.W. (khalifah al rasul) adalah pemimpin masyarakat, sedangkan pada zaman bani umayyah, yang di maksudkan adalah khalifah Allah yaitu pemimpin atau penguasa yang di angkat oleh Allah.
Bani Umayyah memegang kekuasaan Islam selama sembilan puluh tahun dengan pusat pemerintahan di Damaskus. Selama kurun waktu tersebut pemerintahan di pegang oleh empat belas orang khalifah. Khalifah-khalifah itu adalah sebagai berikut:[4]
1)      Muawiyah bin Abu Sufyan (Muawiyah I) – (661M-680M)
2)      Yazid bin Muawiyah (Yazid I) – (680M-683M)
3)      Muawiyah bin Yazid (Muawiyah II) – (683M-684M)
4)      Marwan bin Hakam (Marwan I) – (684M-685M)
5)      Abd Malik bin Marwan – (685M-705M)
6)      Walid bin Abd Malik (Walid I) – (705M-715M)
7)      Sulaiman bin Abd Malik – (715M-717M)
8)      Umar bin Abdul Aziz (Umar II) – (717M-720M)
9)      Yazid bin Abd Malik (Yazid II) – (720M-724M)
10)  Hisyam bin Abd Malik – (724M-743M)
11)  Walid bin Yazid (Walid III) – (743M-744M)
12)  Yazid bin Walid (Yazid III) – (744M)
13)  Ibrahim bin Walid – (744M)
14)  Marwan bin Muhammad (Marwan II) – (744M-750M)
Khalifah-khalifah yang terkenal diantara ke 14 khalifah tersebut adalah:
1. Muawiyah bin Abu Sufyan
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan, sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.[5]
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan. Pada masa pemerintahannya islam menyebar kearah barat dan timur.[6]
2. Abdul Malik bin Marwan
Pada masa pemerintaha Abdul Malik bin Marwan pemberontakan-pemberontakan kaum Syi’ah masih berlanjut. Yang termasuk di antaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685 – 687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali, yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik.
3. Al-Walid bin Abdul Malik
Masa pemerintahan Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M.
4. Umar bin Abdul Aziz
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
5. Hisyam bin Abdul Malik
Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat, khalifah tidak berdaya mematahkannya. Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi.[7]



B.   Proses pergantian kepemimpinan kekhalifan dalam kebijakan politik dan sosial
1)    Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchi absolute(kerajaan turun menurun). Sukses kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.[8]
Upaya penegakan dinasti dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yaitu:
         Membuat struktur kekuasan  berbentuk warisan di dalam lingkungan satu keluarga.
         Ditetapkannya warna khusus sebagai lambang kekuasaan Daulat Umayyah, yaitu Bendera Merah. Pada setiap upacara kenegaraan maupun upacara-upacara ketenteraan maka Bendera Merah dikibarkan..
         Memperluas wilayah kekuasaan ke berbagai negara.
         Memperbaiki seluruh system pemerintahan dan menata administrasi yang baik dengan membentuk beberapa departemen dan organisasi, antara lain organisasi keuangan.
         Memajukan seni-seni budaya, seperti pengembangan seni bahasa, seni suara, seni rupa, dan seni bangunan (arsitektur).

2)    Kebijakan Sosial, Politik, dan Ekonomi, dan Administrasi  Bani Umayyah
a.       Kebijakan Sosial
Sistem kekhalifahan Umayyah dalam bidang sosial yaitu mengutamakan kesejahteraan rakyat. Daulah ini memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada di bawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapat perlindungan hukum dari kesewenangan. Oleh karena itu Daulah ini membentuk Lembaga Kehakiman.
Adapun kebijakan sosial yang dilakukan oleh Daulah ini diantaranya yaitu:
·         Penggunaan kekayaan negeri untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta, sakit kusta.
·         Penyempurnaan pembangunan gedung-gedung, pabrik, dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para kafilah yang berlalu lalang di jalur Spanyol digalakkan.
·         Pembukaan jalur kontak komunikasi antara bangsa-bangsa Muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan.[9]
Semua itu dilakukan dengan tujuan untuk menjamin hak masyarakat agar mendapat perlindungan hukum. Dengan demikian, mereka akan merasa aman dan tentram tanpa mendapat gangguan dari seseorang atau suatu kelompok orang atau kelompok politik.Dan pada akhirnya, rakyat akan menikmati kemajuan yang dicapai oleh Daulah Umayyah dan kehidupan mereka akan sejahtera.
b.      Kebijakan politik
Dalam awal perkembangannya, dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat, dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan turun menurun (monarchi heridetis).Penggantian khalifah secara turun temurun dimulai dari sikap Muawiyyah yang mengangkat anaknya, Yazid, sebagai putera mahkota. Sikap ini dipengaruhi oleh keadaan Syiria yang menjadi wilayah kekuasaan selama dia menjadi gubernur dan memang bermaksud mencontoh monarchi heridetis di Persia dan kekaisaran Bizantium.
Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum, dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat secara garis besar terdiri muslim dan non muslim, dan dalam memperlakukan orang Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya lebih personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan demikian masyarakt muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.
Dengan tatanan masyarakat yang homogen tersebut, menimbulkan ambisi penguasa dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme, yaitu membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum muslimin. Usaha-usaha ke arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk daerah Islam dan bahkan adat istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab.
Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi’ berhasil menguasai Tunis yang kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di sebelah timur, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani.Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan dan kapal perang mereka.
Sistem politik pada masa dinasti ini menggunakan system politik kekuatan, artinya segala pergolakan politik yang timbul diatasi dengan kekuatan militer, sehingga lawan politik yang terus berusaha untuk mengacaukan kekuatan politik dinasti ini selalu digagalkan dengan kekuatan politik militer dan politik diplomasi.[10]
a. Politik dalam Negeri
1. Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dariKufah, pusat kaum Syi’ah (pendukung Ali), dan juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antar dua bani tersebut dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada di bawah genggaman Muawiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi Gubernur di distrik ini sejak zaman Khalifah Umar ibn Khattab.
2. Pembentukan lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan dari Khalifah ar- rasyidin, untuk memenuhi tuntutan perkembangan administrasi dan wilayah kenegaraan yang semakin komplek.
b. Politik Luar Negeri
Politik luar negeri Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu melakukan perluasan daerah kekuasaan ke negara–negara yang belum tunduk pada kerajaan Bani Umayyah.
Pada zaman Khalifah ar-Rasyidin wilayah Islam sudah demikian luas, tetapi perluasan tersebut belum mencapai tapal batas yang tetap, sebab di sana-sini masih selalu terjadi pertikaian dan kontak-kontak pertempuran di daerah perbatasan. Daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Islam masih tetap menjadi sasaran penyerbuan pihak-pihakdi luar Islam, dari belakang garis perebutan tersebut. Bahkan musuh diluar wilayah Islam telah berhasil merampas beberapa wilayah kekuatan Islam ketika terjadi perpecahan-perpecahan dan permberontakan-pemberontakan dalam negeri kaum muslimin
c.       Kebijakan ekonomi
Adapun sistem perekonomian yang digalakkan pada dinasti ini dilakukan melalui kegiatan kemajuan perdagangan, perbaikan system ukuran pertimbangan, takaran, dan keuangan yang dicetak secara teratur.
Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak. Tetapi bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Bani umayyah, tetapi ada juga usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan.Jadi sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi ekonomi negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari negara-negara yang telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam
Kebijakan Dinasti di bidang ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk lalu lintas darat dan laut, lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan.Keadaan demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah lindungan armada Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis industri kerajinan tangan berupa tiraz (semacam bordiran) yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan, format tiraz bertuliskan lafaz“La Ilaaha Illa Allah“.Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.

d.      Kebijakan administrasi
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, selain sukses disamping ekspansi teritorial, BaniUmaiyah juga telah sukses dalam berbagai bidang. Diantaranya adalah dalam bidang administrasi negara pemerintahan yang meliputi :
·         Pemisahan kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama dan kekuasaan politik
·         Pembagian wilayah. Wilayah kekuasaan terbagi menjadi beberapa propinsi, yaitu : Syiria dan Palestina, Kuffah dan Irak, Basrah dan Persia, Sijistan dan Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan Yamamam, Arena, Hijaz, Karman dan India, Egypt (Mesir), Ifriqiyah (Afrika Utara), Yaman dan Arab Selatan, serta Andalusia.
·         Bidang Administrasi Pemerintahan. Organisasi tata usaha negara terpecah menjadi bentuk dewan. Departemen Pajak dinamakan dengan Dewan Al-Kharaj, Departemen Pos dinamakan dengan Dewan Rasil. Departemen yang menangani kepentingan umum dinamakan dengan Dewan Musghilat, adapun departemen dokumen  negara dinamakan dengan Departemen Khatim.
·         Organisasi keuangan masih terpusat pada baitul maal yang asetnya diperoleh dari pajak tanah, perorangan bagi non-muslim.
·         Organisasi ketentaraan. Umumnya orang arab atau keturunan arab yang boleh menjadi tentara.
·         Organisasi Kehakiman
·         Bidang Sosial dan Budaya . Bidang Seni dan Sastra. Pada masa khalifah Walid ibn Abdul Malik terjadi keseragaman bahasa, semua bahasa daerah terutama dalam bidang administrasi diseragamkan dengan bahasa arab.
·         Bidang seni rupa. Yang berkembang adalah seni ukir, dan pahat, itu terlihat pada kaligrafi motifnya.
·         Bidang Arsitektur. Terlihat pada kubah Sakhra di Baitul Maqdis,yaitu kubah batu yang didirikan pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan pada tahun 691 M.
·         Bidang Pendidikan. Pemerintah memberikan dorongan terhadap kemajuan pendidikan dengan mendirikan berbagai sarana dan prasarana. Hal tersebut agar para ilmuan, ‘ulama, dan seniman mau melakukan pengembangan dalam ilmu yang didalaminya, serta agar dapat melakukan kaderisasi terhadap generasi selanjutnya.Pada dinasti ini juga telah dilakukan pembukuan Hadis, tepatnya pada pemerintahan Umar ibn Abd Al-Aziz ( 99 – 10 H). Selain itu Dinasti Umaiyah juga memberikan perhatian pada perkembangan ilmu-ilmu yang lain, seperti ilmu agama yang mencakup Al-Qur’an, hadis, dan ilmu fiqh.

C.   Puncak Kejayaan pada masa dinasti umayyah Timur
Dimasa Muawiyyah, terdapat peristiwa paling mencolok yakni penyerangan kota konstan tinopel melalui suatu ekspedisi yang dipusatksn di kota pelabuhan Dardanela, setelah terlebih dahulu menduduki pulau-pulau di Laut Tengah seperti Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan sebuah pulau yang bernama Award, tidak jauh dari Ibu Kota Romawi Timur. Dibelahan Timur, Muawiyyah berhasil menaklukan Khurrasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan. Ekspansi ke timur yang dirintis oleh Muawiyyah, lalu disempurnakan oleh Khalifah Abdul Malik. Dibawah komando gubenur Irak Hajjaj ibn Yusuf, tentara kaum muslimin menyebrangi sungai Ammu Darya dan menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkhand. Dimasa kekuasaan al-Walid I dikenal dengan “masa kemenangan yang luas”. Dimasa ini, pengepungan atas kota konstantinopel dihidupkan kembali guna menaklukan ibu kota Romawi,meski belum berhasil tetapi memberi hasil yang cukup memuaskan yakni dengan menggeser tapal batas pertahanan Islam lebih maju kedepan, dengan menguasai basis-basis militer.
Kerajaan Romawi di Mar’asy dan Amuriyah. Kemudian dilanjutkan dengan keberhasilan di front Afrika. Disamping itu, kejayaan Bani Umayyah juga tercermin dari pembangunan di berbagai bidang seperti bidang politik ataupun sosial kebudayaan. Didalam bidang politik Bani Umayyah menyusun tatanan pemerintahan yang sama sekali baru, yakni memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks.
Dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam, yang meliputi wilayah Spanyol, seluruh wilayah Afrika utara, Jazirah Arab, suriah, Palestina, setengah bagian dari daerah Anatolia, Irak, Persia, Afganistan, India, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk sovyet Rusia.
Faktor kejayaan pada masa umayyah timur
·         Masa disintegrasi yang dapat dicegah pada masa pemerintahan Abdul Malik.
·         Sistem Administrasi yang disempurnakan pada masa Abdul Malik.
·         Bani Umayah berhasil memperluas kekuasaan islam kepenjuru dunia.
·         Islam memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat luas.
·        Telah berkembang ilmu pengetahuan secara tersendiri dengan masing-masing tokoh spesialisnya. Antara lain, dalam Ilmu Qiro’at (7 qiro’at) yang terkenal yaitu Ibnu Katsir (120H), Ashim (127H), dan Ibnu Amr (118H).5 Ilmu Tafsir tokohnya ialah Ibnu Abbas (68H) dan muridnya Mujahid, Ilmu Hadits oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri, tokohnya ialah Hasan Al-Basri (110H), Sa’id bin Musayyad, Rabi’ah Ar-Ra’iy guru dari Imam Malik, Ibnu Abi Malikah, Sya’bi Abu Amir bin Syurahbil. Kemudian Ilmu Kimia dan Kedokteran, Ilmu Sejarah, Ilmu Nahwu, dan sebagainya.[11]

D.   Proses tentang kehancuran Dinasti dan dampak-dampak dari kehancurannya
Dinasti yang didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan ini, dari beberapa khalifah yang memegang kekuasaan, hanya beberapa orang saja yang dianggap berhasil dalam menjalankan roda pemerintahannya antara lain : Muawiyyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, al Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik, selain mereka itu merupakan khalifah yang lemah. Dinasti ini mencapai puncaknya pada masa al Walid I bin Abdul Malik dan kemudian akhirnya menurun dan kekuasaan mereka direbut oleh Bani Abbasiyah pada tahun 750 M.
Dari berbagai kesuksesan dan kebesaran yang telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak mampu menahan kehancurannya, akibat kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari fihak luar. Adapun hal-hal yang membawa kemunduran yang akhirnya berujung pada kejatuhan Bani Umayyah dapat diidentifikasikan antar lain sebagai berikut:
1. Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan Himyariyah yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman  Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para khalifah cederung kepada satu fihak dan menafikan yang lainnya.
2. Ketidak puasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu. stastus yang menggambarakan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orangArab yang mendapat fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan atas rata-rata orang Arab, tetapi harapan mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.
3. Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum syi`ah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan  Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani  Umayyah dalam memimpin umat.
Diantara faktor penyebab keruntuhan Dinasti Umayyah ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan adalah :
1.     Pengangkatan Dua Putera Mahkota
Perubahan sistem kekuasaan, dari sistem demokrasi kepada monarchi yang dirintis Muawiyyah bin Abu Sofyan, berakibat pada tumbuhnya bibit permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga dinasti dan ditambah dengan langkah pengangkatan dua putera mahkota yang diberi mandat agar putera mahkota yang kedua sebagai pelanjut sesudah yang pertama, hal itu dilakukan khalifah Marwan bin al Hakim dengan mengangkat Abdul Malik bin Marwan dan Abdul Aziz, berikutnya adalah Abdul Malik mengikuti jejak mendiang ayahnya dengan mengangkat puteranya, yaitu al Walid dan Sulaiman. Langkah ini tidak hanya menjadi permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga tetapi juga merembet masuk di lingkungan para panglima dan pejabat.
2.      Munculnya Fanatisme Suku
Setelah Yazid bin Muawiyyah meninggal, fanatisme suku menyebar di tengah-tengah kabilah Arab namun belum sampai membahayakan kekuatan Bani Umayyah dari rongrongan kekuatan lain yang menginginkan kehancurannya sebagai pemegang supremasi politik umat Islam.
Kondisi tersebut masih dapat dikendalikan terlebih dengan tampilnya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah , ia seorang yang saleh dan adil. Dalam masa pemerintahannya diisi dengan memperbaiki kerusakan yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelumnya, sehingga legalitas kepemimpinannya diakui dan diterima oleh semua pihak yang tidak mengakui pemerintahan Bani Umayyah.Ia terbebas dari fanatisme suku, karena ia tidak mengangkat seorang menjadi gubernur melainkan berdasarkan kecakapan dan keadilan yang dimiliki oleh yang bersangkutan.[12]
Namun ketika Umar bin Abdul Aziz wafat, dan kekhalifahan dipegang Yazid bin Abdul Malik, saat itu fitnah dan perselisihan diantara bangsa Arab utara (Arab Mudhar) /suku Qais dengan Arab selatan (Arab Yaman) /bani Kalb memanas, yang kemudian terjadi perang Murj Rahith,yang mengkibatkan terbunuhnya al Mulahhab bin Abu Shufrah dari Arab Yaman, ia seorang yang telah mengabdi seluruh hidup dan potensinya pada Bani Umayyah, yaitu pembelaannya dalam perang al Azariqah menghadapi kaum khawarij, berjuang memerangi penduduk Khurasan dan al Khazar serta orang-orang Turki. Sepeninggal al Mulahhab, tampillah puteranya yang menjadi perhatian dan tumpuhan pihak Arab Yamani untuk merongrong kedaulatan Dinasti Umayyah Timur. Namun demikian Bani Umayyah sekali waktu berpihak kepada Arab Qais dan dilain waktu kepada Arab Yaman.
Fanatisme suku dapat dilihat ketika Yazid bin Abdul Malik mengangkat saudaranya yaitu Maslamah sebagai gubernur wilayah timur setelah mereka berjasa menumbangkan pemberontakan putera al Mulahhab, dan juga mengangkat Umar bin Hubairah yang berasal dari suku Qais.
Ketika Yazid wafat dan saudaranya yaitu Hisyam naik tahta maka khalifah baru menilai bahwa posisi orang-orang Qais dalam pemerintahan sudah terlalu kuat, dan hal ini, menurut Hisyam adalah membahayakan kelangsungan pemerintahan Bani Umayyah, kemudian ia mengambil tindakan dengan cara mengenyahkan orang-orang Qais dari kekuasaan dan balik berpihak kepada unsur Yamani, ini dimaksudkan agar kedua unsur tersebut berimbang.Untuk itu ia mengangkat Khalid bin Abdullah al Qasari sebagai gubernur Irak, dan juga mengangkat saudara Khalid yaitu Asad sebagai gubernur Khurasan. Dengan demikian kekuatan unsur Yamani kembali berperan dan kekuatan unsur Qaisi melemah, kemudian orang-orang dari unsur Yamani berkesempatan menumpahkan balas dendam mereka kepada orang-orang dari unsur Qaisi.
Demikianlah fanatisme suku yang telah mencabik-cabik Dinasti Umayyah, sehingga negara menjadi ajang bagi tumbuhnya beragam fitnah dan kerusuhan dan kemudian keruntuhan dinasti ini terjadi.
3.      Terlena Dalam Kemewahan
Pola hidup sebagian khalifah Dinasti Umayyah yang sangat mewah dan senang berfoya-foya sebagai warisan pola hidup para penguasa Bizantium adalah faktor lain yang telah menanam andil besar bagi keruntuhan dinasti ini. Yazid bin Muawiyyah adalah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah sangat terkenal sebagai pengagum berat wanita, memelihara para penyanyi wanita, memelihara burung buas, singa padang pasir dan seorang pecandu minuman keras.
Prilaku Yazid bin Abdul Malik juga tidak lebih baik dari Yazid bin Muawiyyah, ia adalah pemuja wanita dan penggemar pesta pora. Begitu pula dengan puteranya yaitu al Walid, ia seorang khalifah yang sangat senang dengan kehidupan serba mewah dan terlena dengan romantika asmara.[13]
4.      Fanatik Arab
Dinasti Umayyah adalah murni daulat Arab, sehingga ia sangat fanatik kepada bangsa Arab dan kearabannya. Mereka memandang orang non Arab ( mawali) dengan pandangan sebelah mata, sehingga menimbulkan fitnah diantara sesama kum Muslimin, disamping itu pula telah membangkitkan nasionalisme di dalam Islam.Bibit daripada geraka tersebut adalah anggapan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang paling utama dan mulia dan bahasa Arab adalah bahasa yang paling tingga dibanding dengan yang lain.
Tindakan diskriminatif tersebut telah membangkitkan kebencian kaum mawali kepada Bani Umayyah, akhirnya sebagai kaum tertindas mereka selalu mencari waktu yang tepat untuk melampiaskan kebenciannya. Mereka menggabungkan diri dengan al Mukhtar dan kaum khawarij untuk bersekutu dan ditambah dengan propagandis kaum abassi untuk memberontak dan menggulingkan Dinasti Umayyah.[14]
Sekutu tersebut melakukan gerakan oposisi terhadap Dinasti Umayyah dengan pimpinan Muhammad bin Ali dan kemudian dilanjutkan kedua puteranya yaitu ibrahim dan Abu Abbas yang didukung oleh masyarakat pendukung Ali di Khurasan. Di bawah pimpinan panglimanya yang tangkas, yaitu Abu Muslim al Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dan bahkan dalam pertempuran di Zab Hulu sebelah timur Mosul, Marwan II, khalifah terakhir Dinasti Umayah dapat dikalahkan, Marwan II di bunuh di Mesir pada bulan Agustus 750 M dan berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus.






















DAFTAR PUSTAKA

Hamka, Sejarah Ummat Islam . Jakarta: Bulan Bintang, 1951
Murodi, dkk. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang : Toha Putra, 2003
Supriadi, Dedi .Sejarah Peradaban Islam. Pustaka Setia: Bandung, 2008
Syukur , Fatah . Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010
 Zubaidah , Siti, Sejarah Peradaban Islam Wal Ashri Publishing: Medan, 2012


[1]  Hamka. Sejarah Ummat Islam (Jakarta: Bulan Bintang.1951) hlm 78
[2] Dr.H.Fatah Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009) hlm 72
[3] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban islam (Yogyakarta : Teras, 2011) hlm 69
[4] Dr.Siti Zubaidah ,M.Ag. Sejarah Peradaban Islam, (Wal Ashri Publishing,Medan, 2012), hlm 137
[5] Dr. Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. (Jakarata: PT raja grafindo persada, 2010). Hlm. 43
[6] Dr.H.Fatah Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009) hlm 73
[7] Dr. Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. (Jakarata: PT raja grafindo persada, 2010). Hlm. 47-48
[8] Ibid. h 42
[9] Ibid. h 44
[10] Murodi, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam , (PT Karya Toha Putra, Semarang 2009), hlm. 23
[11]  Dedi supriadi, M.Ag Sejarah Peradaban Islam, (Pustaka Setia, Bandung, 2008), hlm 83
[12] Dedi supriadi, M.Ag Sejarah Peradaban Islam, (Pustaka Setia, Bandung, 2008), hlm 83
[13] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, h. 121
[14] Ibid. h.123