BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Letak geografis Indonesia yang berupa
kepulauan sangat berpengaruh terhadap mekanisme pemerintahan Indonesia. Dengan
keadaan geografis yang berupa kepulauan ini, menyebabkan pemerintah sulit
mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan
atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya berbagai suatu sistem
pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap
dibawah pengawasan dari pemerintah pusat.
Hal tersebut sangat diperlukan karena mulai
munculnya berbagai ancaman terhadap keutuhan NKRI. Hal itu ditandai dengan
banyaknya daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sumber daya alam daerah di Indonesia yang tidak merata juga
merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan untuk
memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah
sekaligus menjadi pendapatan nasional.
Oleh karena itu, pemakalah berusaha untuk
mengkaji lebih dalam tentang Otonomi Daerah dan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian Otonomi Daerah?
2.
Apa Visi dan Misi
dari Otonomi Daerah tersebut?
3.
Bagaimana Sejarah Otonomi Daerah?
4.
Dimana saja terdapat prinsip-prinsip otonomi
daerah?
5.
Bagaimana Pembagian Kekuasaan dalam Kerangka Otonomi Daerah?
C. MAKSUD DAN TUJUAN
1.
Untuk mengetahui
hakikat otonomi daerah.
2.
Untuk
mengetahui visi otonomi daerah.
3.
Untuk
menjelaskan sejarah otonomi daerah di Indonesia.
4.
Untuk
mengetahui prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah.
5.
Untuk
menjelaskan pembagian kekuasaan dalam kerangka otonomi daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
OTONOMI DAERAH
A. HAKIKAT OTONOMI
DAERAH
Otonomi Daerah berasal dari
bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri dan namos yang berarti undang-undang
atau aturan. Oleh karena itu secara harfiah otonomi berarti peraturan sendiri
atau undang-undang sendiri yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan
sendiri. Otonomi Daerah adalah suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan tersebut diberikan secara
proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah sesuai dengan ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998.
Pengertian otonomi dalam makna sempit dapat
diartikan sebagai mandiri. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan
sebagai berdaya. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu
daerah dalam kaitan pembuatan dan keputusan mengenai kepentingan daerahnya
sendiri.[1]
Menurut pendapat yang lain, bahwa otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan
daerah otonom sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.[2]
Salah satu aspek penting otonomi daerah
adalah pemberdayaan masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam
proses perencanaan, pelaksanaan, penggerakkan, dan pengawasan dalam pengelolaan
pemerintahan daerah dalam penggunaan sumber daya pengelola dan memberikan
pelayanan prima kepada publik.
Uraian diatas menunjukkan peranan
administrasi negara dalam penyelengaraan otonomi daerah. Kebutuhan akan
pentingnya administrasi negara terutama posisinya dalam penyelenggaraan otonomi
daerah menjadi penting pada saat kita memasuki otonomi daerah yang dicanangkan
pada tanggal 1 Januari 2001. Sehingga otonomi daerah semakin dituntut dalam pelayanan
kepada masyarakat dan kesejahteraan umum.[3]
B. VISI OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah sebagai kerangka
penyelenggara pemerintahan mempunyai visi yang dapat dirumuskan dalam tiga
ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya: politik, ekonomi,
sosial, dan budaya.[4]
a) Politik
Karena otonomi adalah buah dari kebijakan
desentalisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk
membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara
demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang
respontif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara mekanisme
pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik.
b) Ekonomi
Otonomi daerah disatu pihak harus menjamin
lancarnya pelaksanaan kebijakan. Ekonomi didaerah, dan dipihak lain terbukanya
peluang bagi pemerintahan daerah mengembangkan
kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi
didaerahnya.
c) Sosial dan Budaya
Otonomi
daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni
sosial, dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang
kondusif dalam menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika
kehidupan disekitarnya.[5]
Berdasarkan visi ini, maka konsep
dasar otonomi daerah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan
UU No. 25 tahun 1999, merangkum hal-hal berikut ini:
a) Penyerahan sebanyak
mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah.
b)
Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal
dalam pemilihan dan penetapan kepala Daerah.
c)
Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan
kultur demokrasi demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang
berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
d)
Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan
eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih
sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan, setara
dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah serta lebih
responsif terhadap kebutuhan daerah.
e)
Peningkatan efisien administrasi keuangan darah serta
pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah,
pembagian revenue (pendapatan) dari sumber penerimaan yang berkait dengan
kekayaan alam, pajak dan retribusi serta tata cara dan syarat untuk pinjaman
dan obligasi daerah.
f)
Perwujudan desentralisasi fiskal dari pemerintahan
pusat yang bersifat alokasi subsidi berbentuk block gran, peraturan pembagian
sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk
menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi upaya pemberdayaan
masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
C. SEJARAH OTONOMI
DAERAH
1)
Warisan
Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan
staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang
mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad
No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan
sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam
ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan
groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga,
terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat.
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh
pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun
kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga
masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.
2) Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar Perang dingin II
Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan
Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan
pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta
Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar
tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah
bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan.
Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut
bersifat misleading.
3) Masa Kemerdekaan
1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada
asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (Komite
Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah
yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang
masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
a. Provinsi
b. Kabupaten/kota besar
c. Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang
bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari
6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah
di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku
pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI
tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a. Propinsi
b. Kabupaten/kota besar
c. Desa/kota kecil
d. Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya
sendiri.
3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti
dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan
kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
a. Daerah swatantra tingkat I, termasuk kota praja Jakarta Raya
b. Daerah swatantra tingkat II
c. Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitik beratkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya
sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4.
Periode
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga
tingkatan yakni:
a.
Provinsi
(tingkat I)
b.
Kabupaten
(tingkat II)
c.
Kecamatan
(tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas
memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya,
menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan
pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh
pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas
memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani
peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam
dan di luar pengadilan.
5.
Periode Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan
mengatur rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua
tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara
dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
a.
Provinsi/ibu
kota negara
b.
Kabupaten/kotamadya
c.
Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah
tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat
sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam
UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
6.
Periode
Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam
penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
a.
Sistem
ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
b.
Daerah
yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah
provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah
daerah kabupaten dan daerah kota.
c.
Daerah
di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
d.
Kecamatan
merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa
kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai
perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum
memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
7.
Periode
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15
Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah yang
dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU
baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan
provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan
administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi,
supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga
provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan
sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.
D. PRINSIP-PRINSIP
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu
dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di
atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan
batas administrasi pemerintahan yang jelas.
Daerah otonomi adalah wilayah administrasi
pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua
bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada
pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas
yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat
yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu
dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan
struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur
pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah
kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan
pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan
bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam diktum menimbang huruf (b)
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan
otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta
mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor
22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu
adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup
semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan-kewenangan bidang
lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu,
keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam
penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan
daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara
nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa
perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah
dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang
serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka
prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 adalah sebagai berikut:[6]
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan
dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan
keanekaragaman daerah yang terbatas.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada
otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh
diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah
provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai
dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara
pusat dan daerah serta antar daerah.
e. Pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah
administrasi.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih
meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi
legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
pemerintah daerah.
g. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan
pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk
melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h.
Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa
yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan
kepada yang menugaskannya.
E. PEMBAGIAN KEKUASAAN
DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH
Pembagian kekuasaan antara pusat
dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat
fedralisme. Jenis yang ditangani pusat hampir sama dengan yang ditangai oleh
pemerintah dinegara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan
keamanan, peradilan, moneter dan agama serta berbagai jenis urusan yang memang
lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat seperti kebijakan
makro ekonomi standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), dan pengembangan sumber daya manusia. Semua jenis
kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat disebutkan secara spesifik dalam UU
tersebut.
Selain itu otonomi daerah yang
diserahkan itu bersifat luas, nyata, dan bertanggung jawab. Disebut luas karena
kewenangan sisa justru berada pada pemerintahan pusat ( seperti, pada Negara
federal); disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyakut
yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah; dan disebut
bertanggunag jawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan
demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan
antar daerah. Disamping itu, otonomi seluas-luasnya ( keleluasaan otonomi) juga
mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kewenangan
yang diserahkan ke pada daerah otonom dalam rangka desentralisai harus pula
disertai penyelenggaraan dan pengalihan pembiayaan. Sarana dan prasarana, dan
sumber daya manusia.
Selain sebagai daerah otonom,
provinsi juga merupakan daerah administrative, maka kewenangan yang ditangani
provinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam angka desentralisasi dan
dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom provinsi dalam
rangka desentralisasi mencakup:
a. Kewenangan yang
bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan bidang pekerjaan umum,
perhubungan, kehutanan dan perkebunan.
b. Kewenangan
pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional
secara makra, pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial,
penelitian yang mencakup dalam wilayah provinsi, pengelolaan pelabuhan regioal,
pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan
penyakit menular, dan perencanaan tata ruang provinsi.
c. Kewenangan kelautan
yang tidak meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang,
penegakan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
d. Kewenangan yang tidak
atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota diserahkan kepada
provinsi dengan penyertaan dari daerah otonom kabupaten atau kota tersebut.
Dalam rangka negara kesatuan,
pemerintah pusat masih memiliki kewenangan melakukakan pengawasan terhadap
daerah otonom. Tetapi, pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap
daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang kebih besar, atau sebaliknya,
sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan kekuasaan yang
dimaksud adalah pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural yaitu
bupati/wali kota dan gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat
sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara preventif
perundang-undangan, yaitu setiap peraturan daerah (perda) memerlukan
persetujuan pusat untuk dapat berlaku.[7]
Terkait dengan pembagian
kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah terdapat 11 jenis
kewenangan wajib yang diserahkan kepada daerah otonom kabupaten dan daerah
otonom kota, yaitu:[8]
1. Pertahanan,
2. Pertanian,
3. Pendidikan dan
kebudayaan,
4. Tenaga kerja
5. Kesehatan,
6. Lingkungan hidup,
7. Pekerjaan umum,
8. Perhubungan,
9. Perdagangan dan
industri,
10. Penanaman modal, dan
11. Koperasi.
Penyerahan kesebelas
jenis kewenangan ini kepada daerah otonomi kabupaten dan daerah otonomi kota dilandasi
oleh sejumlah pertimbangan sebagai berikut :
1. Makin dekat
produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang dilayani,
semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan terjangkau.
2. Penyerahan sebelas
jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota akan
membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber daya
manusia yang berkualitas didaerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas dan
melakukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas, memutuskan,
melaksanakan, mengevaluasi sebelas jenis kewenangan.
3. Karena distribusi
sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata, dan kebanyakan berada di
Jakarta dan kota besar lainnya, maka penyerahan sebelas jenis kewenangan ini
juga dimaksudkan dapat menarik sumber daya manusia yang berkualitas di
kota-kota besar untuk berkiprah di daerah-daerah otonom, yang kabupaten dan
kota.
4. Pengangguran dan
kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja hanya dipikulkan
kepada pemerintah pusat semata.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Hakikat Otonomi
Daerah adalah kemandirian suatu
daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan keputusan mengenai
kepentingan daerahnya sendiri.
2. Pembagian
kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintrah pusat harus berlandaskan
pada pemikiran bahwa Otonomi Daerah sebagai komitmen dan kebijakan politik
nasional merupakan langkah strategi yang diharapkan akan mempercepat
pertumbuhan dan pembangunan Daerah, disamping menciptakan keseimbangan
pembangunan antar daerah di Indonesia.
3. Keterkaitan antara
otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah. Adalah Bersifat timbal balik,
artinya apabila prakondisi Otonomi daerah sebagai wujud demokrasinya buruk maka
pemilihan langsung kepala daerah kurang efektif dalam peningkatan demokrasi.
persyaratan. pelaksanaan Otonomi Daerah dalam NKRI, yang berprinsip bahwa
pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan
seluas-luasnya” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab” harus
benar-benar di laksanakan dan di wujudkan tidak berhenti pada teori saja karena
dengan demikian tujuan negara untuk memakmurkan seluruh rakyat bisa tercapi.
B.
SARAN
Otonomi daerah sebagai upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah melalui optimalisasi pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya manusia bisa terwujud dengan baik, maka perlu
selalu dalam pengawasan, baik secara internal dari pemerintah melalui
Kementrian Dalam Negeri juga partisipasi masyarakat di daerah. Dengan demikian
sangat diharapkan peran masyarakat sipil di daerah seperti lembaga swadaya
masyarakat, organisasi sosial keagamaan di daerah.
DAFTAR PUSTAKA
[1] A. Ubaedillah,dkk, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani,
(Jakarta : Indonesia Center for Civic Education, 2000), hlm.170
[2] Prof. Drs. HAW Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom,(Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada, 2002),hlm. 76
[3] Prof. Drs. HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia,(Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada, 2005),hlm. 7
[4] A. Ubaedillah,dkk, Pancasila,
Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta :ICCE
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.179
[6] A.
Ubaedillah,dkk, Pancasila,
Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta :ICCE
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.182
[7] A.
Ubaedillah,dkk, Pancasila,
Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta :ICCE
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.179
[8] A.
Ubaedillah,dkk, Pancasila,
Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta :ICCE
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.185
[9] A.
Ubaedillah,dkk, Pancasila,
Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta :ICCE
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hlm.179
Tidak ada komentar:
Posting Komentar