MAKALAH METODE STUDI ISLAM
Nama : Lailan Sakinah
Roudhatul
Hasanah
Rabi
Aulia Tasri Manik
Safrida Ningsih
Kelompok :
4 (Empat)
IJTIHAD DAN DINAMIKA PENGERTIAN
ISLAM
Ijtihad sebagai metode penemuan hukum yang bersandar
pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal ketika diutus sebagi
seorang hakim ke Yaman, yang bunyi hadits tersebut;
عن معاذبن جبل ان رسول الله صلي الله علیھ و سلم لما بعثه
الى اليمن كيف تقضى اذا عرض لك قضاء قال اقضى بكتاب الله قال فان لم تجد في كتاب الله فبسنة رسول الله فان لم تجد في سنة رسول الله قال اجتھد رأیي ولا الو قال فضرب رسول الله على صدره و قال الحمد لله قد وفق رسول الله لما یرضى رسول الله
Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya
Rasululloh SAW, ketika mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu
menetapkan hukum jika diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz
menjawab saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah
berkata:"jika kamu tidak menemukan dalam kitab Allah ? Muadz menjawab:
"saya akan memutus berdasarkan sunnah Rasulullah. Rasululloh berkata:
"jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasululloh, Muadz menjawab saya
akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka Rasulullah
merasa lega dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq
kepada utusan Rasulullah (muadz) dalam hal yang diridhoi oleh Rasulullah.
Hadits ini dijadikan oleh para ulama sebagai dasar
pijakan eksistensi ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam dan
menggambarkan sumber hukum Islam secara hirearkis yang meliputi al-Qur'an,
Hadits dan Ijtihad.
1. PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa,
ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya
menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau
yang tidak disenangi. Kata inipun berarti kesanggupan (al-wus), kekuatan
al-thaqoh), dan berat (al-masyaqqoh) (Ahmad bin Ahmad bin Ali
al-Muqri al-Fayumi, t.th: 122, dan Elias A.Elias dan Ed.E. Elias, 1982: 126).
Secara bahasa, arti ijtihad dalam artian jahadda terdapat di dalam
Al-Quran surat al-Nahl [16] ayat 38, surat al-Nur [24] ayat 53, dan surat Fatir
[35] ayat 42. semua itu berarti pengerahan semua kemampuan dan kekuatan (badzl
al-wus'i wa al-thaqoh), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah al-mubalaghat
fi al-yamin).
Dalam al-Sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi Sholallahu'alaihiwasllam
yang artinya “pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa (fajtahidu
fi al-du'a). dan dalam hadits lain, beliau bersungguh-sungguh (yajtahid)
pada sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan).
Para ulama bersepakat tentag pengertian ijtihad secara bahasa, tetapi berbeda
pandangan mengenai pengertiannya secara istilah (terminilogi). Pengertian
secara istilah muncul pada masa tasyri' dan masa Sahabat. Perbedaan ini
meliputi ijtihad dengan fikih, dengan Al-Qur'an, dengan al-Sunnah, dan
ijtihad dengan dalalah nash. (Jalaludin Rakhmat, 1989: 33).
Menurut Abu Zarroh (t.th: 379) secara istilah, arti
ijtihad ialah :
Upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum
amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
Menurut al-Amidi yang dikutip oleh Wahhab al-Zuhaili
(1978: 480), ijtihad ialah : Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan
sesuatu yang zhani dari hukum-hukum
syarak.
Definisi ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya
berlaku pada bidang fikih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal; bukan
bidang pemikiran. Oleh karena itu, menurut ulama fikih ijtihad tidak terdapat
pada ilmu kalam dan tasawuf, karena ilmu kalam menggunaka dalil qoth'i
bukan dalil zhanni.
Namun Harun Nasution berpendapat bahwa itihad juga
berlaku dalam bidang politik, akidah, tasawuf, dan filsafat. Karena menurutnya,
ijtihad hanya dalam lapangan fikih adalah ijtihad dalam pengertian sempit
Ibrahim Abbas al-Dzarwi (1983: 9)
mendefinisikan:
Ijtihad sebagai pengarahan dan upaya untuk
memperoleh maksud
Sebagian
ulama ada yang menyamakan ijtihad dengan qiyas, dan sebagiannya dengan ra'y.
Namun Imam al-Ghazali mengatakan bahwa ijtihad itu lebih umum dari qiyas
(Wahbah a-Zuhaili, 1978: 481)
Definisi di atas memiliki persamaan
dan perbedaan. Adapun perbedaannya adalah:
*
Terletak pada penggunaan bahasa
*
Terletak pada subjek ijtihad
*
Terletak pada metode ijtihad. Ada yang menggunanakn metode manquli (Al-Qur'an
dan as-Sunnah) yaitu ittiba kepada Rosulullah yang selalu menunggu wahyu
dalam menyelesaikan setiap persoalan (Q.R al-Hasyr [59]:2). sebagian lagi
menggunakan metode ma'kuli (berdasarkan ra'y dan akal)
Persamaannya-persamaannya adalah :
*
Hukum yang dihasilkan bersifat zhanni
*
Objek ijtihad berkisar seputat hukum taklifi, yaitu hukum yang berkenaan
dengan amaliah ibadah. (Muhaimin, dkk: 1994; 188-189)
2. DASAR-DASAR IJTIHAD
Adapun yang
menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-Qur'an dan al-Sunnah. Di antara ayat
Al-Qur'an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitap kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah)
karena (membela) orang- orang yang hiyanat. (Q.S. al- Nisa
[4]: 105)
Ayat lain yang menjadi dasar ijtihad terdapat juga di
dalam surat al-Rum [30] ayat 21, surat al-Zumar [39] ayat 42, dan surat
al-Jatsiyah [45] ayat 13.
Adapun al-Sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antaranya hadits 'Amr bin a-'Ash
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad bahwa Nabi Sholallahu'alaihi
wasallam bersabda :
Apa bila seorng hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar
maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam
ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. (Muslim, II, t.th: 62)
3. SYARAT-SYARAT IJTIHAD
Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad dengan cara istinbath (mengeluarkan
hukum dari sumber hukum syariat) dan tathbiq (penerapan hukum). Adapun
rukun-rukun ijtihad ialah sebagai berikut.
*
Al-Waki' yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang
yang tidak diterangkan oleh nas.
*
Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan
untuk berijidah dengan syarat-syarat tertentu.
*
Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
*
Dalil syara’ yang menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (Nadiah
Syafari al-Umari, t.th: 199-200)
Adapun mengenai syarat-syarat
ijtihad, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama di dalam
menentukannya. Namun pendapat-pendapat tersebut tidak saling bertentangan
bahkan jika digabungkan akan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu di sini hanya akan dicantumkan satu saja dari pendapat-pendapat
tersebut. Yaitu syarat-syarat mujtahid yang dicantumkan oleh Muhammad Abu
Zahrah (t.th: 250-2) sebagai berikut:
*
Mengetahui bahasa Arab, karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab.
Al-Sunnah, sebagai penjelas Al-Qur'an juga ditulis
delam bahasa Arab.
* Mengetahui
nasikh-mansukh dalam Al-Qur'an.
*
Mengetahui sunnah, baik perbuatan, perkataan, maupun penetapan.
*
Mengetahui ijmak dan ikhtilaf
*
Mengetahui qiyas.
* Mengetahui
maqoshid al-syari'ah.
*
Memiliki pemahaman yang tepat (sihhat al-fahm) yang karenanya mujtahid
dapat memahami ilmu mantiq.
* Memiliki
niat yang baik dan keyakinan (aqidah) yang selamat.
Menurut Muhaimin dkk. (1994: 198-199), sesuai dengan syarat-syarat yang
dimiliki, mujtahid itu terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan-tingkatan
itu ialah mujtahid mutlhlaq dan mujtahid mazhab.
Mujtahid muthlaq ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama
dari sumbernya.
Mujtahid muthlaq terbagi
menjadi dua tingkatan.
Pertama, mujtahid muthlaq mustaqil, yaitu
mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar-dasar yang ia susun
sendiri bahkan metode dan dasar-dasar yang ia susun menjadi mazhab tersendiri
seperti empat tokoh mazhab fikih yang terkenal yaitu seperti Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Hanbali.
Kedua Mujtahid muthlaq muntasib, yaitu mujtahid
yang telah mencapai derajat muthlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun
metode sendiri. Contohnya, al-Mujani dari mazhab Syafi'i dan al-Hasan bin Ziyad
dari mazhab Hanafi.
Mujtahid fi al-madzhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan
hukum-hukum agama yang tidak dan atau belum dikeluarkan oleh mazhabnya dengan
cara menggunkan metode yang telah disusun oleh mazhabnya itu. Contohnya, Abu
Ja'far al-Tahtawi dalam mazhab Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi menjadi
dua, mujtahid takhrij dan mujtahid tarjih atau disebut dengan
mujtahid fatwa.
4. HUKUM IJTIHAD
A. Wajib
'Ain, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai
fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan khawatir peristiwa itu akan
hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya.
B. Wajib Kifayah, bagi
seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas
suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap
dan selain dia masih ada mujtahid lainnya.
C. Sunnat, jika dilakukan atas
persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi.
D. Haram, hukum ijtihad menjadi haram
dilakukan atas pristiwa-pristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qath'i, baik
dalam Al-Qur'an maupun al-Sunnah; atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya
telah ditetapkan secara ijmak. (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 498-9 dan Muhaimin,
dkk,1994: 189)
5. IJTIHAD NABI Sholallahu'alaihiwasallam
Para ulama
menyepakati ijtihad Rasul Sholallahu'alaihiwasallam dalam urusan-urusan
kemaslahatan yang bersifat keduniawian (al-mashalih al-dunyawiyah), pengaturan
teknik dan strategi peperangan (tadabir al-hurub), dan
keputusan-keputusan yang berhubungan dengan persengketaan (al-Aqdhiyah wa
al-Khushumah).
Dalam
menanggapi boleh tidaknya Rasul berijtihad dalam urusan hukum-hukum agama,
ulama berbeda pendapat.
Pertama, kebanyakan para ahli ushul fiqh membolehkan.
Menurut mereka ini pernah dilakukan oleh Rasul Sholallahu'alaihiwasallam. Mereka
berdalil dengan ayat Al-Qur'an dalam surat Ali-Imran [3]: 13, surat al-Hasyr
[59]: 2, Yusuf [12]: 111, dan Ali Imran [3]: 159.
Kedua, para pengikut Abu Hanifah (Hanifah)
berpendapat bahwa Rasulullah Sholallahu'alaihiwasallam diperintahkan
untuk berijtihad setelah beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan suatu
peristiwa yang terjadi, dan beliau mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap begitu
saja.
Ketiga, kebanyakkan pengikut Asya'irah, Ahli
kalam, dan Muktajilah tidak menyetujui ijtihad beliau dalam urusan hukum-hukum
agama.
Ulama yang menolak adanya ijtihad Rosulullah Sholallahu'alaihiwasallam, juga
menjadikan Al-Qur'an sebagai dalil :
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. Al-Najm
[53]: 3-4)
“Katakan, “tidak patut bagiku menggantikannya dari pihak diriku sendiri. Aku
tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku,” (Q.S. Yunus [10]:
15)
6. IJTIHAD: SUMBER
DINAMIKA
Ijtihad dipandang penting disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Jarak antara
kita dengan masa tasyri' semakin jauh, jarak yang jauh ini memungkinkan
terlupakannya beberapa nas, kahususnya dalam as-Sunnah, yaitu masuknya
hadits-hadits palsu dan masuknya perubahan terhadap nas. Oleh karena itu, para
mujtahid dituntut secara bersungguh-sungguh menggali ajaran Islam yang
sebenarnya melalui kerja ijtihad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar