NAMA : LAILAN SAKINAH
(35.12.3.152)
JUR/SEM : PMM-5 / IV
TUGAS RESUME
BAB II
QA’IDAH FIQHIYYAH KEDUA
بالشك يزاللا اليقين
Keyakinan
itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan
A.
Dalil Dan Sumber Pembentukan
Qa’idah ini menghantarkan kepada kita
kepada konsep kemudahan demi menghilangkan yang kadang kala menimpa kita,
dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan.
Sebab telah kita ketahui bersama, keragu-raguan adalah beban dan kesulitan,
maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga
terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya, termasuk di dalamnya adalah aqidah dan ibadah.
Qa’idah ini
menawarkan sebuah solusi berupa kemudahan-kemudahan dan pertolongan kepada
semua orang dalam melakukan ibadah. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah
yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda:
إذا وجد
أحدكم فيبطنه شيئا فأشكل عليه أخرج منه شيئ ام لا ؟ فلا يخرجنّ من المسجد حتى يسمع
صوتا أو يجد ريحا
“Apabila salah seorang di antara
kalian merasakan ‘sesuatu’ di dalam perutnya kemudian dia ragu, apakah telah
keluar sesuatu (dari perutnya) atau tidak, maka janganlah dia keluar dari
masjid (membatalkan shalatnya), sampai dia mendengar suara atau mencium bau”
Hadis tersebut diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abi
Said al-Hudri :
اذا شك احدكم
في صلاته، فلم يدر، كم
صلى، اثلاثا ام اربعا ؟ فليطرح الشك؟ وليبن على ما استيقن
“Apabila salah satu darimu mengalami keraguan dalam shalatnya,
dan ia tidak tahu, sudah berapa rakaat ia shalat, mendapat tiga atau empat
rakaat? Maka hendaknya ia membuang keraguan dan meneruskan shalatnya sesuai
dengan apa yang ia yakini”
Hadis-hadis ini tidak hanya berlaku
pada persoalan thaharah dan shalat saja, melainkan juga berlaku pada semua
persoalan fiqih yang memiliki titik persamaan dengan permasalahan yang termuat
dalam hadis-hadis tersebut, yaitu dengan jalan menganalogikan (qiyas).
Secara Rasional, sebuah keyakinan
tentu saja lebih kuat dan lebih kokoh bila dibanding dengan gejala hati yang
lain, karena didalam sebuah keyakinan itu terdapat suatu kepastian yang tidak
bisa dikalahkan oleh keraguan. Sebuah keyakinan yang akan mengantarkan
seseorang kepada sikap komitmen yang tidak mudah goyah. Sementara keraguan
adalah suatu kondisi yang kerap hadir dalam hati dan tidak bosan untuk terus
menggoda dan menggoyahkan keyakinan atau komitmen seseorang.
Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah
keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat dari pada keraguan,
karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’i yang meyakinkan. Atas dasar
petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak oleh
keraguan.
B. Pengertian
Qa’idah
Sebelum
dijelaskan penegrtian Qa’idah ini, baik dari sisi etimologis dan terminologis,
terlebih dahulu harus mengetahui, bahwa tingkat daya hati dalam menangkap
sesuatu (idrak) selalu berbeda-beda. Perbedaan Tersebut dapat dilihat dalam
empat terminologi berikut ini :
1. Al-Yakin
(اليقين)
Menurut
Ibn Mandzur, “ Al-yakin adalah mengetahui, menyingkirkan keraguan, dan
membuktikan kebenaran masalah (verivikasi masalah). Al-yakin merupakan kebalikan dari al-syak.
Secara
terminologi, al-yakin menurut Abu al-Baqa’ adalah, “ iktikad yang kuat, menetap
dan sesuai dengan kenyataan” Menurut yang lain al-yakin adalah “pengetahuan
yang menetap dalam hati karena sebab-sebab tertentu dan tidak bisa rusak”.
Untuk
membuktikan suatu keyakinan, tidak disyaratkan harus ada pengakuan dan
pembenaran. Keyakinan bisa saja ditemukan bersamaan adanya pengingkaran dan
penolakan, seperti firman Allah dalam surah al-Naml ayat 14:
(#rßysy_ur $pkÍ5 !$yg÷FoYs)øoKó$#ur öNåkߦàÿRr& $VJù=àß #vqè=ãæur 4 öÝàR$$sù y#øx. tb%x. èpt7É)»tã tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÊÍÈ
14. Dan mereka mengingkarinya karena
kezaliman dan kesombongan (mereka) Padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.
Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.
Pengertian al-yakin secara lebih
jelas diungkapkan oleh Al-Haidar;
حصول الجزم اوالظن الغالب بوقوع
الشيء او عدم وقو عه
“Tercapainya kemantapan atau dugaan
kuat atas terjadinya sesuatu, atau atas tidak terjadinya”
Maka dapat disimpulkan, bahwa al-yakin adalah bentuk penetapan dan
penenangan atas hakikatnya sesuatu sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Maksudnya
adalah, bahwa keyakinan yang ada (lebih dulu) tidak bisa dihilangkan oleh
keraguan yang baru datang, dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang, kecuali
dengan keyakinan yang sesamanya.
2. Ghalabatu
al-Dzan
Ghalabatu
al-Dzan menurut Abu Hilal al-‘Asykari adalah, “Dugaan tetap, yaitu
mendominasinya salah satu diantara dua perkara atas lainnya dengan dominasi
muthlak, dan lainnya dikesampingkan, karena terlalu lemah”
Menurut
para pakar fiqih, hukum Ghalabatu al-Dzan adalah sama dengan al-yakin. Ghalabatu
al-Dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada dua kemungkinan. Ia
menduga bahwa salah satunya lebih unggul, dan hatinya condong untuk membuang
salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul disebut Ghalabatu al-Dzan.
3. Al-Dzan
Menurut
Imam Raghib, Al-dzan adalah, “Perkara yang dihasilkan dari tanda-tanda. Apabila
tanda-tandanya kuat, maka akan menghasilkan pengetahuan (al-ilmu), dan apabila
lemah sekali, maka disebut salah duga (tawahhum)”.
Perbedaan
yang lebih transparan antara al-dzan dan Ghalabatu al-Dzan dikemukan oleh Ibn
abidin, mengutip dari pernyataan para pakar fiqih: “Apabila salah satu dari dua
sisi kemungkinan itu lebih kuat dan bisa mengungguli sisi yang lain, namun hati
enggan untuk mengambil sisi yang kuat ini dan enggan juga untuk membuang sisi
lain yang lemah, maka dilema hati yang demikian inilah yang disebut al-dzan.
Apabila hati berpegang pada salah satunya dan mengesampingkan yang lain, maka
disebut Ghalabatu al-Dzan”.
4. Al-syak
Al-syak,
dipandang dari sisi etimologis artinya, “menyambung” atau “melekat”. Pada
perkembangannya, al-syak kemudian menjadi terminologi fiqih dan terkenal
dikalangan ulama fiqih dengan memiliki “ragu” atau “bingung”.
Imam
al-Nawawi melihat bahwa al-syak menurut para ulama fiqih adalah, “ragu” secara
mutlak, karena tidak ada perbedaan antara keraguan yang seimbang atau yang
lebih unggul. Hal ini megantarkan kepada sinyalemen bahwa al-syak dan al-dzan
menurut para ulama fiqih adalah sama. Pendapat imam al-Nawawi ini didukung oleh
Ibn Nujaim.
Berbeda
dengan para ulama ushul yang membedakan antara al-syak dan al-dzan. Mereka
mengatakan, “meragukan antara dua kemungkinan, jika bobot keduanya seimbang,
maka disebut al-syak, dan apabila tidak seimbang, maka yang lebih unggul
disebut al-dzan, sedangkan yang lemah disebut al-wahm (salah duga)”.
Dalam
realitasnya, ulama fiqih tidak begitu ketat memperdulikan istilah-istilah ini.
Mereka bahkan terkesan longgar, dan tidak jarang menempatkan al-dzan pada tempat
al-syak, atau sebaliknya.
Dari
pemaparan mengenai term-trem di atas bisa dipahami, bahwa arti yang segera
diahami dengan mudah dari lafal al-yakin didalam Qa’idah ini adalah
“mempertahankan sesuatu yang telah diyakini dari sebelumnya, dan inilah yang
disebut hukum asli”. Sedangkan yang segera dipahami dari lafal al-syak dalam
Qa’idah ini adalah “Keraguan yang baru muncul setelah adanya keyakinan”. Hanya
arti yang demikian inilah yang sesuai dengan Qa’idah di atas, sebab, jika
Qa’idah “Al-yakin la yazulu bi al-syak” dipahami secara tekstual. Maka akan
melahirkan anggapan, bahwa dalam suatu masalah, mungkin saja terjadi hadirnya
keyakinan dan keraguan secara bersamaan, padahal itu tidak mungkin, karena
keduanya paradoks.
Jadi,
arti sempurna untuk Qa’idah di atas adalah, “ Sesuatu yang eksistensinya sudah
diyakini dari sebelumnya, tidak akan hilang hanya karena disebabkan oleh baru
datangnya keraguan”. Masalah keyakinan secara logika tidak mungkin bisa
dihilangkan begitu saja oleh sesuatu yang lebih lemah dari padanya.
Pemahaman
yang paling akurat dan sesuai adalah, bahwa hal-hal itu merupakan perkara yang
baru datang, yaitu ketika masalah tersebut dipersepsikan oleh seseorang. Sikap
ragu bisa muncul beegitu saja dalam benak seseorang, dikarenakan adanya sifat
lupa atau ketidak tahuan.
C. Qa’idah
Furu’
Dari
Qa’idah pokok ini kemudian lahir banyak sekali Qa’idah-Qa’idah furu’,
diantaranya:
الاصل بقاء ما كان على ما كان
“Menurut hukum asal, seuatu itu dilihat (dihukumi)
menurut keberadaan awalnya secara apa adanya”.
Sesuatu yang sudah ada secara apa adanya pada masa
yang telah lewat, maka hukum pada masa berikutnya disesuaikan atau disamakan
dengan keberadaanya yang semula itu. Qa’idah ini dalam term ulama ushul disebut
“Al-istishab”. Mereka mendefinisikan al-istishab dengan arti, “Menghukumi
dengan cara menetapkan atau mentiadakan sesuatu pada masa yag sedang berjalan
atau yang akan datang, berdasarkan tetapnya sesuatu tersebut di masa-masa
sebelumnya”.
Teks Qa’idah ini menurut Muhammad ‘Azam ditulis secara
berbeda oleh Imam al-Suyuti dengan redaksi demikian:
ما ثبت بز مان يحكم ببقائه مالم يو
جه دليل على خلافه
“Sesuatu
yang telah menetap pada masa tertentu, maka masa berikutnya tetap dihukumi
demikian, selama tidak ditemukan dalil (bukti/petunjuk yang menentangnya)”.
Dikarenakan
hukum asal itu apabila berhadapan dengan dalil yang menentangnya, maka hukum
asal menjadi gugur.
Al-Dzimmah
menurut arti bahasa adalah “janji” sedangkan menurut istilah adalah, “suatu
sifat yang menjadikan seseorang menerima kewajiban”. Artinya apabila seseorang
melakukan suatu kasus yang kemudian melahirkan akibat yang harus ia tanggung,
maka ia wajib memenuhi tanggungan tersebut.
Contoh
dari Qa’idah ini, antara lain:
1. Apabila
terjadi konflik dalam masalah ganti rugi harta yang rusak, yaitu harta yang berada
pada titipan, sewaan, pinjaman, perawatan, atau harta-harta yang disebut
sebagai “harta amanah”. Dimana, menurut logika umum ganti rugi harus dibebankan
pada orang yang merusakkan. Namun menurut qa’idah ini yang dimenangkan adalah
pendapat orang yang dibebani ganti rugi (orang yang merusakkan), jika ia berani
bersumpah. Karena menurut hukum asal ia terbebas dari tanggungan.
من شك أفعل
شيئا أم لافا لأ صل أنه لم يفعله
“Bagi yang meragukan, adalah ia telah melakukan sesuatu atau
belum? maka hukum yang terkuat (hukum asal) adalah ia belum melakukannya”.
Pada
dasarnya Qa’idah ini telah terakomodir dalam Qa’idah ke tiga, namun Qa’idah ini
berbicara pada masalah yang lebih spesifik, yaitu masalah ragu dalam hal
jumlah. Di antara contoh implementasi Qa’idah ini adalah:
1. Mushalli
meragukan jumlah rakaat yang ia lakukan, adalah masih berada pada rakaat ketiga
atau sudah rakaat ke empat? Maka yang dimenangkan adalah yang sedikit, yaitu
tiga rakaat.
2. Orang
yang berwudhu meragukan jumlah basuhan yang ia lakukan.
Qa’idah
ini merupakan ungkapan Imam al-Syafi’i merespon dua Qa’idah sebelumnya yang
menjelaskan, bahwa segala keraguan harus dikembalikan kepada hukum asal, karena
hukum asal adalah simbol dari kenyataan yang tidak bisa digoyahkan oleh
keraguan. Namun demikian, ternyata keyakinan bisa saja goyah apabila seseorang
meyakini telah melakukan sesuatu kesalahan, ia harus melakukan suatu hal sampai
ia yakin telah bisa menutup kesalahan tersebut.
Contoh Pengamalan dari Qa’idah ini adalah:
1. Orang
yang yakin telah meninggalkan shalat, hanya saja ia ragu berapa jumlahnya, maka
ia harus meng-qadla’ shalat yang ia tinggalkan sampai pada jumlah yang ia yakin
telah terlunasi semua.
Menurut
hukum asal, “sifat asli (tidak baru datang)” itu adalah “ada (maujud)”,
sedangkan hukum asal dari sifat yang baru datang” adalah “tidak ada”, sampai
ada dalil yang merubah ketentuan hukum asal itu, sehingga sifat yang tidak asli
(baru datang) hukum asalnya menjadi ada.
Suatu
sifat dipandang dari ada dan tidak adanya, dibagi menjadi dua;
1. Sifat
yang melekat pada sesuatu, namun baru datang (‘aridl).
2. Sifat
yang keberadaannya bersamaan dengan wujud sesuatu
الأ صل في ا لأشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah diperbolehkan, sampai ada
dalil yang mengharamkan”
Kalangan
ulama membahas secara mendalam mengenai hukum segala sesuatu, meliputi benda,
tasharruf (kewenangan bertindak), dan perbuatan yang belum ditentukan hukumnya
oleh syar’i adakah ia dihukumi mubah, atau haram?. Dalam membahas masalah ini,
para ulama terpecah menjadi empat golongan.
v Pertama,
kelompok yang mengatakan: hukum asal sesuatu adalah dicegah (haram).
v Kedua,
kelompok yang mengatakan: hukum asal sesuatu adalah mauquf (tidak ada jawaban),
sampai ada dalil yang menjelaskan.
v Ketiga,
kelompok yang mengatakan: hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh.
v Keempat,
kelompok yang mengatakan: hukum asal segala sesuatu adalah boleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar